“Saya belum berpikir ke pohon untuk menghijaukan markas brigade. Sebab, yang memperkenalkan saya adalah kelompok pecinta Harley Davidson. Sementara saya tahu pak Onny senang motor besar. Toh saya berpikiran positif, meski saya bukan penggemar moge (motor gede),” kata Doni.
Pada hari dan jam yang ditentukan Doni bertemu Onny. Doni mengenakan uniform PDH militer. Lengkap dengan tongkat komando dan baret hijau.
Begitulah gambaran proses perkenalan Doni dan Onny hingga ke substansi penghijauan markas Brigif begitu lancar. Lancar jaya.
“Hari itu juga pak Onny berkenan datang ke lokasi Brigif. Di sini, komentar beliau kurang lebih, ‘wah… ini butuh banyak pohon, pak Doni’,” ujarnya. Doni tertawa dan membenarkan. Tanpa basa-basi, Onny melanjutkan dengan pertanyaan, “Saya bantu bibit pohonnya pak. Mulai kapan?” tanya Onny kepada Doni.
Bukan Doni Monardo kalau menjawab, “besok atau minggu depan”. Alhasil, Doni pun menjawab, “Kalau bisa hari ini juga, pak Onny.”
Singkat kalimat, Onny mempersilakan armada Brigade datang ke rumahnya untuk mulai proses pengangkutan bibit-bibit trembesi. Tak kurang dari 20.000 (d u a p u l u h r i b u) bibit trembesi disumbangkan Onny Gappa untuk menghijaukan Markas Brigif Kariango.
Pepatah Asam Garam
Jika menarik waktu ke belakang, takdir yang mempertemukan Doni dan Onny dalam konteks trembesi memang merupakan sebuah keniscayaan. Pepatah yang tepat untuk melukiskan adalah “asam di gunung garam di laut bertemu dalam satu belanga”. Doni berdarah Minang, bekarier di militer. Sedangkan Onny berdarah Bugis Makassar, insinyur peternakan dan bankir. Keduanya bertemu dalam satu cinta: “Cinta Trembesi”.
Ada hal tak terlupakan saat untuk pertama kali Doni dipertemukan dengan Onny Gappa. Doni terpana oleh sejumlah bingkai foto besar yang ada di ruang kerja Onny Gappa. “Bukan foto Harley Davidson atau foto para bankir. Bukan. Foto yang beliau pasang besar-besar adalah foto pohon trembesi. Seketika saya membantin, wah ternyata pak Onny punya pohon favorit yang sama dengan saya,” kenang Doni.
Doni Monardo lantas menceritakan pengalaman, utamanya saat berdinas di lingkungan Paspampres. Karena tugas, ia berkesempatan mengunjungi hampir seluruh wilayah di Indonesia (dalam kaitan pengamanan kunjungan presiden/wakil presiden). Ada kesan khusus dengan trembesi.
“Hampir di setiap pusat pemerintahan kota di berbagai daerah dari Aceh sampai Papua, selalu dijumpai tiga jenis pohon: beringin, asam, dan trembesi. Khusus di Malang, ada tambahan pohon mahoni,” kata Doni.
Di benak Doni terbersit keyakinan, bahwa trembesi adalah salah satu pohon istimewa. Itu pula yang membuat trembesi menjadi salah satu jenis pohon yang harus ditanam di pusat-pusat pemerintahan Hindia Belanda seluruh wilayah Nusantara.
Puncak rasa penasaran Doni Monardo terhadap trembesi terjadi tahun 2003, saat ia menjabat Dandema Paspampres. Hingga suatu hari, ia pergi ke daerah Cikokol di Tangerang Selatan. Relatif tidak terlalu jauh dari kediamannya di Serpong. “Yang jual pohon trembesi lokasinya agak ke dalam, jadi harus naik sepeda motor. Di situ saya menemukan bibit trembesi diameter ukuran paha. Harganya empat-ratus-ribu rupiah,” kisahnya.
Pohon pun ditanam di depan rumah. Karena ditanam dengan cinta serta dirawat dengan baik, trembesi Doni tumbuh sangat cepat. Dalam waktu setahun, sudah lebih tiga meter. “Buru-buru saya minta bantuan tukang untuk memindahkan ke seberang jalan. Sejak itu saya makin paham, trembesi termasuk yang fast growing,” kata Doni.