TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konferensi tingkat tinggi (KTT) G20 telah selesai terselenggara, yang menjadi puncak dari kepemimpinan Indonesia selama Presidensi G20.
Hampir seluruh pemimpin negara hadir, di tengah kecamuk perang Rusia-Ukraina dan perebutan dominasi Amerika Serikat dan China.
Semula dikhawatirkan G20 bakal terpecah atau mengalami kebuntuan, tetapi akhirnya komunike dari para pemimpin G20 berhasil disepakati.
Indonesia juga mengantongi sejumlah kerja sama konkret dengan negara-negara anggota G20.
Seiring dengan suksesnya Presidensi G20, peran Indonesia semakin strategis di kancah dunia maupun kawasan.
Pada 2023 mendatang Indonesia mendapat giliran menjadi ketua ASEAN, mengukuhkan posisi kepemimpinan Indonesia, yang pengaruhnya meluas ke Asia-Pasifik.
Kiprah Indonesia di kancah dunia berkorelasi pula dengan kepentingan dalam negeri, di mana dunia tengah berjuang keluar dari pandemi Covid-19 serta ancaman krisis ekonomi dan perlombaan senjata.
Situasi pandemi menciptakan disrupsi rantai pasok terutama pangan dan energi, yang diperparah oleh perang Ukraina. Indonesia tak lepas dari pengaruh global, di mana inflasi terus membayangi. Pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM bersubsidi pada September lalu.
Kenaikan tersebut tak bisa dihindari lagi, setelah berakhirnya windfall komoditas yang sempat dinikmati Indonesia.
Selama berbulan-bulan pemerintah menahan kenaikan BBM ketika banyak negara telah melakukannya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlibat aktif dalam meredam dampak perang dengan menemui langsung pemimpin Rusia dan Ukraina.
Dalam KTT G20, baik pihak Rusia maupun Ukraina diberikan kesempatan berbicara di hadapan para pemimpin dunia lainnya.
Baca juga: Hasil Survei Poltracking, Hanta Yuda: Kepuasan Terhadap Pemerintahan Jokowi-Maruf 73,2 Persen
Indonesia juga berupaya mendapatkan komitmen investasi, termasuk pada sektor-sektor hijau untuk menekan dampak perubahan iklim. Begitu pula dengan pengembangan infrastruktur seperti kereta cepat dan pembangunan ibukota negara (IKN) baru di Kalimantan.
Upaya terlibat aktif dalam percaturan global dan menangani masalah domestik membuahkan kestabilan sosial politik.
Temuan survei Center for Political Communication Studies (CPCS) menunjukkan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Mayoritas publik merasa puas, sebanyak 78,5 persen, di antaranya 10,4 persen merasa sangat puas. Dalam setahun terakhir tingkat kepuasan terjaga tinggi hingga mendekati 80 persen, hanya sempat anjlok hampir ke kisaran 50 persen setelah gelombang varian delta.
“Jokowi semakin hebat di mata publik, dengan tingkat kepuasan selalu tinggi selama setahun terakhir, dan kini mencapai 78,5 persen,” kata Direktur Eksekutif CPCS Tri Okta S.K. dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Menurut Okta, tingginya kepuasan publik dan terjaga tetap stabil menjadi bukti keberhasilan pembangunan dan kebijakan yang dilakukan Jokowi.
Jika tetap bertahan sampai akhir masa jabatan, banyak hal yang akan menjadi legacy Jokowi bagi Indonesia.
“Sekaligus hal ini menjadi tantangan bagi penerusnya, apakah sanggup mempertahankan dan melanjutkan capaian yang telah diletakkan pondasinya oleh Jokowi,” ucap Okta.
Tentu saja publik berharap akan ada keberlanjutan menuju tingkatan sebagai negara maju.
Sejumlah kritik tetap menjadi catatan, ditandai dengan masih adanya ketidakpuasan publik. Sebanyak 19,5 persen mengaku tidak puas, di antaranya 1,1 persen merasa sangat tidak puas, dan sisanya tidak tahu/tidak jawab 2,0 persen.
Baca juga: Survei Kepuasan Publik Terhadap Kinerja Jokowi di Jatim Capai 79,8 Persen
Survei CPCS dilakukan pada 1-8 Desember 2022, dengan jumlah responden 1200 orang mewakili 34 provinsi yang diwawancarai secara tatap muka.
Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen.