TRIBUNNEWS.COM - Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengkritik terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
AHY mengibaratkan terbitnya perppu ini seperti menyelesaikan masalah dengan masalah.
Dirinya menganggap perppu yang terbit pada Jumat (30/12/2022) itu dibentuk tanpa adanya partisipasi dari masyarakat.
Selain itu, AHY juga menilai perppu ini hanya untuk melayani kepentingan elit saja.
"Keluarnya Perppu Cipta Kerja adalah kelanjutan dari proses legislasi yang tidak aspiratif dan tidak partisipatif. Lagi-lagi, esensi demokrasi diacuhkan."
"Hukum dibentuk untuk melayani kepentingan rakyat, bukan untuk melayani kepentingan elite. Janganlah kita menyelesaikan masalah dengan masalah," katanya melalui cuitan di akun Twitter pribadinya, @AgusYudhoyono, Senin (2/1/2023).
Baca juga: Said Iqbal Dukung Terbitnya Perppu Cipta Kerja, Ini Alasannya
Kemudian, AHY menganggap alasan kebutuhan mendesak yang disampaikan pemerintah sehingga terbit Perppu Cipta Kerja tidak terlihat dalam isi di dalamnya.
Seperti yang diibaratkan oleh AHY, perppu ini pun dikritik oleh masyarakat dan kaum buruh terkait aturan yang tertuang di dalamnya seperti soal upah minimum hingga skema cuti.
"Terbukti, pasca terbitnya Perppu ini, masyarakat dan kaum buruh masih berteriak dan menggugat lagi tentang skema upah minimum, aturan outsourcing, PKWT, aturan PHK, TKA, skema cuti dan lainnya."
"Mari terus belajar. Janganlah kita terjerumus ke dalam lubang yang sama," kata dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), Airlangga Hartarto, menjelaskan pertimbangan diterbitkannya Perppu tentang Cipta Kerja lantaran kebutuhan mendesak.
Baca juga: Deretan Pasal Perppu Cipta Kerja yang Dinilai Bisa Rugikan Pekerja
Airlangga menjelaskan kebutuhan mendesak yang dimaksud yaitu terkait ekonomi global, inflasi, resesi, hingga konflik antara Rusia-Ukraina.
"Pertimbangannya adalah pertama kebutuhan mendesak. Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait dengan ekonomi, peningkatan inflasi, ancaman stagflasi, dan juga terkait dengan geopolitik perang Ukraina dan Rusia, serta konflik lainnya yang belum selesai."