Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penasihat hukum terdakwa Kuat Maruf menyinggung keterangan Bharada Richard Eliezer alias Bharada E tak cukup bukti dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Hal itu didukung dengan pernyataan Ahli Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muhammad Arif Setiawan saat menjadi saksi meringankan untuk Kuat Ma'ruf di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/1/2023).
Awalnya, kuasa hukum Kuat bertanya soal asas unus testis nullus testis atau jika keterangan saksi hanya berdiri sendiri tanpa dukungan alat bukti lainnya maka tidak memiliki kekuatan pembuktian.
Menurut Arif, setiap pembuktian harus disertakan dengan dua alat bukti yang sah.
“Dalam hukum pidana kita dikenal asas unus testis nullus testis, jika keterangan saksi hanya berdiri sendiri tanpa dukungan alat bukti lainnya maka tidak memiliki kekuatan pembuktian. Apakah setiap unsur, wajib dibuktikan berdasarkan dua alat bukti? Atau secara keseluruhan rumusan delik itu wajib dibuktiKan dengan alat bukti?” tanya penasihat hukum Kuat.
“Jadi begini, kalau yang dibuktikan itu kan kalau tadi ada dua tahap pembuktian, satu pembuktian perbuatan kriminalnya dan kedua tentang pertanggungjawaban. Maka kedua duanya itu harus dibuktikan. Tapi kalau menurut aliran dualisme, itu bisa bertahap membuktikannya, perbuatan pidananya dulu dibuktikan, kalau membuktikan pidananya kan berarti membuktikan semua unsur dalam delik yang didakwakan,” ujar Arif.
Dalam pasal 183 KUHP, Arif menilai persyaratan pembuktian itu didahulukan dengan frasa ‘hakim tidak boleh membuat keputusan pemidanaan’.
“Jadi dasarnya tidak boleh dulu, baru ada pengecualian, kecuali berdasarkan setidak-tidaknga duaalat bukti yang sah. Hakim kemudian memperoleh keyakinan, bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan,” ucap Arif.
Baca juga: Kubu Kuat Maruf Singgung Status Justice Collaborator Bharada E dalam Kasus Pembunuhan Brigadir J
Dengan demikian, pembuktian tindak pidana itu dilakukan terhadap seluruh unsur.
“Seluruh unsur itu berarti setidak-tidaknya, dengan alat bukti yang sah,” ujar Arif.
“Nah itu kan diperinci, apakah semua unsur harus dibuktikan dengan dua alat bukti? Tuntunya iya, kalau seluruh unsur dengan alat bukti, kalau masing-masing unsur tentu saja dengan dua alat bukti,” imbuhnya.
Atas keterangan Arif itu, penasihat hukum Kuat menyimpulkan jika kesaksian Bharada E tidak cukup bukti lantaran hanya berdiri sendiri sebagai terdakwa yang bekerjasama dengan penegak hukum atau justice collaborator.
“Baik jadi kalau ada saksi yang berbicara sendiri tanpa didukung dengan yang lain maka tidak cukup ya pak,” tukas penasihat hukum.
Untuk informasi, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Baca juga: Kubu Ferdy Sambo Sebut Bharada E Berlindung di Balik Perintah Atasan Agar Bebas dari Hukuman
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.