Secara terminologi, ketentuan norma Pasal 22 UUD 1945 mengandung pengertian bahwa “kegentingan yang mernaksa” menjadi syarat kondisional yang harus terpenuhi, sebelum presiden mempergunakan kewenangan menetapkan perpu, jika ditinjau dari aspek ini.
Seharusnya pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas penerbitan perpu, di orientasikan pada apakah telah terpenuhi “keadaan kegentingan yang memaksa” ataukah tidak, sehingga sangat tepat jika DPR menilai substansi atau materi muatan dari perpu tersebut.
Seandainya dalam Sidang Paripurna DPR, presiden tidak bisa membuktikan serta menunjukkan adanya “ keadaan kegentingan yang memaksa”.
Maka tentunya menurut ketentuan norma Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 Perpu tersebut harus dicabut, setidaknya Ada tiga alasan mengapa Perpu harus dicabut:
1) apabila dalam pembahasan Paripurna DPR diketahui bahwa perpu tersebut bertentangan dengan hakikat perpu yaitu tidak memenuhi Syarat “keadaan kegentingan yang memaksa”, maka presiden sebenarnya dinyatakan tidak berwenang menetapkan perpu:
2) perintah pencaburan ini untuk menghindari tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau kemungkinan adanya tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan dengan instrumen hukum Perpu itu,
3) perpu yang dibuat secara sepihak oleh presiden, dengan konstruksi tersebut, diharapkan agar DPR dapat memainkan peran-peran signifikan secara konstitusional dalam fungsi "Checks and balances" dalam rangka mendinamisir pemerintahan yang terbatas "limited government"
Dia menilai pemerintah dan DPR gagal dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut, sehingga mencoba mengakali dengan melakukan terobosan hukum yang tentunya mempunyai dampak buruk yang sistemik terhadap ekosistem negara hukum dan demokrasi.
"Ini sebuah terobosan yang sangat riskan dan destruktif dalam pembangunan sistem hukum, lebih jauh ini merupakan orkestrasi kebijakan dengan nuansa "Constitution Disobedience" berdasar dari hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa produk Perpu maupun UU dari Perpu ini tetap bermasalah dari sisi kaidah pembentukannya, sebab tidak terakomodasi kaidah "meaningful participation" itu sendiri, dan potensial untuk dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi ke depan," kata dia.
Dia menambahkan, Mahkamah Konstitusi sebagai "the guardian of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights dan the protector of human rights,dengan kewenagan konstitusional dapat menguji keadaan serta syarat kegentingan yang memaksa dari sebuah Perpu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
"Secara paradigmatik pengunaan kewenagan tersebut tentunya sejalan dengan spirit serta doktrin “checks and balances system” yang dianut dalam UUD NRI tahun 1945 itu sendiri," tambah Fahri Bachmid.