TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya termasuk minyak goreng akan memasuki babak akhir pada hari ini, Rabu (4/1/2023).
Vonis terhadap para terdakwa akan dibacakan Majelis Hakim pada hari ini di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Terkait vonis yang akan dibacakan tersebut, pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menyinggung soal sensitivitas yang mesti dimiliki Majelis Hakim
"Masyarakat berharap sensitivitas penegakan hukum khususnya Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini," katanya dalam keterangan tertulis pada Rabu (4/1/2023) pagi.
Dia mewanti-wanti agar para terdakwa dalam perkara ini tidak dijatuhkan vonis bebas.
Jika hal tersebut terjadi, maka akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia.
"Apabila terdakwa dalam perkara ini ternyata dibebaskan karena kepentingan pragmatis semata, maka masyarakat akan menganggap persidangan yang dilakukan dengan biaya negara hanyalah sandiwara semata," katanya.
Dalam perkara ini, Suparji juga mengingatkan kembali enam poin fakta-fakta persidangan yang dianggap sesuai dengan tuntutan tim jaksa penuntut umum (JPU).
Enam fakta tersebut yaitu:
• Terdakwa telah melakukan perbuatan-perbuatan untuk mempengaruhi kebijakan penerbitan persetujuan izin ekspor CPO dengan diterbitkan persetujuan izin ekspor CPO dan turunannya;
• Terdakwa telah memanipulasi dokumen yang dijadikan persyaratan memperoleh izin ekspor CPO dan turunannya, memanipulasi dokumen realisasi pendistribusian minyak goreng di dalam negeri (DMO) sebesar 20 persen, menggunakan dokumen secara berulangkali dengan nomor materai dan nomor seri yang sama untuk dilampirkan dalam surat permohonan penerbitan izin ekspor;
• Untuk memuluskan dokumen-dokumen yang tidak sah, maka terdakwa melakukan pertemuan-pertemuan dan komunikasi dengan Terdakwa sebagai pengambil kebijakan terkait penerbitan izin ekspor CPO dan turunannya;
• Terdakwa atas persetujuan terdakwa lain memberikan sejumlah uang kepada Tim Verifikator Kementerian Perdagangan;
• Terdakwa secara materiil mengendalikan proses permohonan persetujuan izin ekspor CPO dan turunannya, sementara para direksi ada dalam pengendaliannya, sehingga para terdakwa melakukan Tindakan yang melebihi tugas dan kewenangannya dalam struktur perusahaan; dan
• Perbuatan-perbuatan dari para terdakwa tersebut menimbulkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara senilai Rp 19,4 triliun.
Sebagai informasi, dalam perkara ini JPU telah menuntut Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei hukuman delapan tahun penjara.
Lin Che Wei juga dituntut untuk membayar denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara ini memutuskan satu menyatakan Lin Che Wei terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah," kata jaksa penuntut umum ketika membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (22/12/2022).
Selain Lin Che Wei, jaksa juga menuntut agar mantan (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indrasari Wisnu Wardhana, dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Indrasari diyakini juga terbukti bersalah terkait ekspor minyak goreng.
"Menjatuhkan pidana penjara berupa tujuh tahun dikurangi masa tahanan dan denda sebesar Rp1 miliar," kata jaksa.
Baca juga: Pleidoi Lin Che Wei Dituntut 8 Tahun di Kasus Minyak Goreng: Saya Apresiasi Kejaksaan
Sementara tiga terdakwa lainnya yakni, General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang, dituntut 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Togar juga dituntut untuk membayar uang pengganti Rp4,5 triliun paling lama 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Kemudian, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley MA, dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Stanley juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 860 miliar.
Sedangkan terdakwa Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor, dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Dia juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp10 triliun paling lama 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.