Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD membantah tudingan pihak-pihak yang menyebut bahwa adanya Tim Yudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM (PPHAM) untuk kembali menghidupkan paham komunisme.
Hal tersebut lantaran satu diantara sekian pelanggaran HAM berat di masa lalu merupakan peristiwa tahun 1965-1966 atau G30S.
"Itu tidak benar karena berdasarkan hasil tim ini, justru yang harus disantuni bukan hanya korban-korban dari pihak-pihak PKI, tetapi juga direkomendasikan korban kejahatan yang muncul di saat itu termasuk para ulama dan keturunannya," kata Mahfud di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Baca juga: Mahfud MD Ungkap Kemajuan yang Telah Diraih Indonesia dari Demokrasi: Jangan Berpikir Sistem Lain
Mahfud juga membantah bahwa pemerintah memberi angin segar kepada lawan-lawan umat Islam, karena peristiwa Pembunuhan Dukun Santet pada 1998-1999.
"Karena dukun santet di Banyuwangi itu yang akan diselesaikan dan disantuni oleh atas rekomendasi tim PPHAM ini semuanya ulama, di Aceh itu semuanya Islam," kata Mahfud.
"Kenapa harus dikatakan bahwa ini untuk mendiskreditkan Islam, untuk memberikan ngin kepada PKI itu sama sekali tidak benar karena soal PKI itu sudah ada tap MPRnya," kata Mahfud
Adapun laporan atau kajian dari TIM PPHAM sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo
"Rekomendasi sosial politik ekonomi, termasuk pendidikan HAM kepada keluarga besar TNI dan Polri juga sudah disampaikan," pungkasnya.
Sebelumnyax Pemerintah mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Presiden Joko Widodo mengakui adanya pelanggaran HAM setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (11/1/2023).
“Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022,” katanya.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” katanya.
Sebelumnya negara belum pernah mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Presiden sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat tersebut.
Peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM Berat diantaranya yakni:
1) Peristiwa 1965-1966,
2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,
4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,
5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,
10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,
11) Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan
12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Presiden menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban peristiwa tersebut.
Sebelumnya pada 29 Desember 2022, Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) yang dipimpin Makarim Wibisono menyarankan Presiden Joko Widodo mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam laporan akhir dan rekomendasi yang telah diserahkannya kepada Menko Polhukam RI Mahfud MD, kata Makarim, ada dua hal penting.
Pertama, soal laporan mengenai hasil kerja Tim PPHAM yang telah dikerjakan sesuai Keppres nomor 17 tahun 2022 tentang pembentukan Tim PPHAM. Laporan tersebut, pada pokoknya mengungkap dan memberi analisa pada pelanggaran HAM masa lalu.
Kedua, rekomendasi mengenai pemulihan korban. Ketiga, rekomendasi agar masalah pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di Indonesia.
Lebih jauh, Makarim menjelaskan inti dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan Tim PPHAM dengan korban, keluarga korban, pendamping, dan unsur LSM adalah mereka menginginkan negara mengakui kasus-kasus pelanggaran HAM berst tersebut.
Karena sampai sekarang, kata dia, tidak ada satupun pengakuan negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM.
Oleh karena itu, kata Makarim, mereka sangat mengharapkan adanya pengakuan dari negara bahwa telah terjadi peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut.
Ia berharap saran tersebut bisa diterima oleh pemerintah dan bisa dijadikan pegangan.