Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - KUHP baru telah diundangkan sebagai UU Nomor 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
KUHP tersebut menggantikan KUHP lama peninggalan pemerintah kolonial Belanda.
KUHP disusun oleh anak bangsa sendiri, dan dengan paradigma hukum pidana negara berdaulat yang modern dan berperadaban luhur.
Oleh karenanya Guru Besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof. Dr. R. Benny Riyanto, menilai KUHP tersebut layak disebut KUHP nasional.
Kehadirannya patut disambut baik dan harus benar-benar disosialisasikan ke tengah masyarakat.
"KUHP nasional ini akan mulai berlaku efektif tiga tahun terhitung sejak diundangkan. Selama masa transisi itu, kita akan terus mensosialisasikan substansi KUHP ini kepada seluruh masyarakat serta aparat penegak hukum agar tidak terjadi salah penafsiran serta meminimalisir penyalahgunaan kewenangan. Sejalan dengan itu, Pemerintah juga akan mempersiapkan berbagai peraturan pelaksanaan,” ujar Prof. Benny di sela acara Sosialisasi KUHP yang digelar oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) bersama Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat, Rabu (11/1/2023).
Prof. Benny bahkan mengusulkan perlunya training of trainers agar para akademisi, praktisi dan penegak hukum betul-betul menguasai norma, semangat, serta nilai-nilai yang dikandung KUHP nasional ini.
Baca juga: Fakultas Hukum USU dan MAHUPIKI akan Optimalkan Sosialisasi KUHP
"Ini merupakan sarana pemahaman kepada para stakeholder yang terlibat, terutama penegak hukum. Karena ini kan merupakan suatu modernisasi sistem hukum Indonesia. Tidak hanya penegak hukum saja, tetapi para akademisi juga, kedepannya perlu kita melakukan training of trainers (ToT) kepada para seluruh stakeholder yang ada," ujarnya.
Menurut Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, Ph.D, kesalahan persepsi yang sempat muncul antara lain terkait diakuinya hukum adat (living law) dalam KUHP baru. Hal ini seharusnya diapresiasi sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan negara kepada masyarakat hukum adat, sebagaimana juga diakui dalam UUD 1945.
“Akan tetapi sementara ini memang ada kekeliruan persepsi di sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa dengan adanya pengakuan terhadap living law, maka terjadi lah penyimpangan atas asas legalitas. Ini yang perlu diluruskan. Karena baru bisa disebut living law bila memang merupakan suatu ketentuan yang masih hidup di masyarakat dan ini ditemukan secara ilmiah oleh para peneliti. Jadi tidak boleh nanti DPRD atau pemerintah meletakkan ketentuan dalam perda tanpa adanya bukti ilmiah bahwa ketentuan tersebut masih hidup dalam masyarakat,” ujarnya.
Dalam pandangan Ketua Umum MAHUPIKI, Yenti Garnasih, wajar bila dalam proses penyusunan KUHP nasional ini banyak ditemukan pro dan kontra. Hal ini tak terlepas dari kebinekaan Indonesia yang memiliki beragam etnis, agama dan kultur. Namun KUHP baru yang berhasil diundangkan pada 2 Januari menjadi UU No. 1/2023 ini cukup berhasil mempertemukan semua kepentingan tersebut.
"KUHP Nasional ini sudah semaksimal mungkin berupaya mencari titik keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat dan negara. Khususnya dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan ruang privat masyarakat dan kebebasan ekspresi," ujar Yenti.
Begitu pun KUHP baru ini dapat disebut sebagai pembaruan hukum pidana Indonesia dari hukum produk kolonial berusia ratusan tahun menjadi sistem hukum pidana modern. Hal ini, antara lain, ditandai dengan digunakannya paradigma hukum pidana modern yang menekankan pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.
"Salah satu contohnya adalah pengaturan KUHP yang bersifat humanis dengan mengakhiri pro dan kontra dari penjatuhan pidana mati. Setelah 10 tahun itu akan dilihat apakah tetap pidana mati ataukah dipindahkan ke pidana seumur hidup. Jangan sampai orang sudah dipidana 28 tahun penjara, eh besoknya dipindahkan ke pidana mati juga. Nah, hal seperti itu untuk menjaga kesewenang-wenangan dari penegakan hukum," lanjut Yenti.
Ia berharap KUHP baru ini juga akan menyelesaikan persoalan banyaknya tindak pidana ringan yang dikenakan secara berlebihan kepada masyarakat, terutama masyarakat kecil yang kerap rentan terhadap ancaman pidana.
Baca juga: Berlaku Efektif 2025, KUHP Baru Dinilai Perlu Segera Disosialisasikan secara Menyeluruh
"Semoga tidak terjadi lagi hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas. Terutama misalnya untuk masyarakat miskin yang mencuri karena masalah ekonomi itu seharusnya bisa ditemukan solusi ancaman pidana yang lebih ringan, sehingga tidak ada di LP itu isinya hanya masyarakat biasa yang pidananya ringan," tambahnya.
Yenti juga berkeyakinan penerapan KUHP yang telah coba disusun sejak puluhan tahun ini tidak akan menganggu kepentingan masyarakat, pelaku usaha, wisatawan dan investor asing, selama penegakan hukumnya sesuai dengan tujuan dari pembaruan hukum pidana dan sistem pemidanaan modern yang diusung KUHP.