Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat memvonis nihil dan wajib membayar uang pengganti senilai Rp 5,733 triliun terhadap terdakwa perkara korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) (Persero) dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Benny Tjokrosaputro, pada Kamis (12/1/2023).
Salah satu alasan vonis nihil tersebut karena majelis hakim menganggap Direktur Utama PT Hanson International Tbk itu telah mendapat hukuman pidana maksimal atau seumur hidup pada perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Meski menjatuhkan vonis nihil, majelis hakim menyatakan Benny Tjokro bersalah.
Baca juga: Benny Tjokrosaputro Divonis Nihil, Kejaksaan Agung Ajukan Banding
Bentjok, demikian dia disapa, terbukti melakukan perbuatan dalam dua dakwaan.
Yaitu Pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU RI No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Vonis nihil mendapat respons dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang merasa putusan itu mencederai rasa keadilan masyarakat.
Kunci Jawaban PPKN Kelas 11 Hal 95: Apakah Vonis yang Dijatuhkan Hakim sudah memenuhi rasa Keadilan?
Inilah Daftar Aset Benny Tjokrosaputro Yang Disita Kejagung di Sukoharjo dan Solo - Tribunjateng.com
Hal ini dikarenakan sebelumnya penuntut umum telah menuntut Benny Tjokrosaputro dengan hukuman mati.
"Bahwa terdakwa Benny Tjokrosaputro terbukti secara sah melakukan tindak pidana, namun dijatuhi hukuman nihil. Hal ini bertentangan dengan undang-undang tindak pidana korupsi dengan ancaman minimal 4 tahun penjara, sementara kerugian negara mencapai puluhan triliun," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, lewat keterangan tertulis, Kamis (12/1/2023).
Pihak Kejagung pun akan mengajukan upaya hukum banding atas vonis nihil yang diterima Benny Tjokrosaputro.
"Kami akan mengajukan upaya hukum banding terhadap perkara a quo dengan harapan dapat dihukum sebagaimana surat tuntutan penuntut umum," kata Ketut.
Lantas bagaimana ketentuan vonis nihil dalam perundang-undangan? Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP menyatakan jika terdakwa telah divonis seumur hidup disamping tidak boleh dijatuhkan hukuman pidana lain kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman majelis hakim.
Pasal 67 KUHP tersebut yang menjadi landasan hakim dalam memutus vonis nihil Bentjok pada perkara Asabri. Sebab, Bentjok telah divonis pidana seumur hidup pada perkara Jiwasraya.
"Meski berdasar pertimbangan majelis hakim, terdakwa dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana kesatu dan kedua primer; tapi undang-undang secara imperatif menentukan jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup di samping tidak boleh dijatuhi pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim sebagaimana Pasal 67 KUHP, maka menurut majelis hakim ketentuan tersebut mutlak harus dipedomani," jelas Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Selain itu, penerapan vonis nihil dilakukan pada pidana kumulatif dengan waktu tertentu untuk membatasi agar seseorang tidak dipidana melebihi batas waktu pemidanaan.
Seperti dikutip dalam situs Pengadilan Negeri Ngabang, Kalimantan Barat berjudul “Kumulasi dalam Pemidanaan” dijelaskan bahwa dalam KUHP Pasal 12 Ayat 4 “Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun”.
Pidana waktu tertentu yang dimaksud dalam ayat tersebut jika merujuk pada ayat (1) di pasal yang sama, merujuk pada jenis pidana pokok berupa pidana penjara, dimana pidana penjara untuk waktu tertentu itu sendiri memiliki rentang waktu antara serendah-rendahnya 1 (satu) hari dan setinggi-tingginya 15 (lima belas) tahun secara berturut turut.
Ketentuan tersebut membatasi kemungkinan orang yang melakukan berbagai tindak pidana yang kemudian diadili baik dalam waktu bersamaan atau diadili secara tersendiri dengan jumlah melebihi 20 tahun penjara.
Kendati demikian, penambahan masing-masing pemidanaan secara kumulatif dapat dimungkinkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 272, yang menyatakan “Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu”.
Ketentuan dalam KUHAP Pasal 272 tersebut berlaku dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dilakukan dalam waktu dan tempat yang berbeda dan tindak pidana tersebut antara yang satu dengan yang lainnya tidak memiliki keterkaitan.
Tindak pidana yang saling berdiri sendiri dan tidak memiliki keterkaitan tersebut disebut juga tindak pidana murni.
Dikatakan murni karena antara satu tindak pidana dengan tindak pidana yang lain, baik yang diadili pada Pengadilan Negeri yang sama atau yang berbeda sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 84, tidak memiliki keterkaitan khusus atau tidak mengandung unsur perbuatan berlanjut atau perbarengan, sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 63 ayat (1) atau dikenal concursus idealis, KUHP Pasal 64 atau perbuatan berlanjut, serta KUHP Pasal 65, 66, dan 70 atau dikenal concursus realis.
Dengan demikian jika seseorang melakukan tindak pidana murni baik dalam satu wilayah atau beberapa wilayah hukum suatu pengadilan negeri, maka terhadap seluruh tindak pidana tersebut akan diadili.
Pelaksanaan pemidanaannya akan mengacu ketentuan KUHAP 272 melalui sistem kumulasi atau dijumlahkan seluruh lamanya pemidanaan dengan batasan maksimal penjumlahan tidak boleh melebihi 20 (dua puluh) tahun penjara sebagaimana KUHP Pasal 12 ayat (4).
Dalam praktiknya pemidanaan terhadap terdakwa yang melakukan beberapa tindak pidana dapat dilakukan kumulasi, sehingga jumlah total keseluruhan terpidana menjalani masa hukuman penjaranya dapat melebihi batas ketentuan maksimal yaitu selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun penjara.
Contoh penerapan yang demikian dapat ditemukan dalam putusan-putusan perkara pidana atas nama terdakwa Dimas Kanjeng Taat Pribadi, yang diadili dalam 3 sidang yang berbeda dan dalam 2 wilayah hukum pengadilan yang berbeda dengan putusan sebagai berikut:
1. Perkara Pidana Nomor 65/Pid.B/2017/PN Krs tanggal 1 Agustus 2017 telah dijatuhi pidana selama 18 tahun;
2. Perkara Pidana Nomor 66/Pid.B/2017/PN Ksr tanggal 24 Agustus 2017 telah dijatuhi pidana selama 3 tahun;
3. Perkara Pidana Nomor 2471/Pid.B/2019/PN Sby tanggal 4 Maret 2020 telah dijatuhi pidana nihil;
Penjatuhan pemidanaan pada putusan ketiga berupa pidana nihil, dengan pertimbangan bahwa perbuatan tindak pidana yang telah diputus sebelumnya merupakan satu kesatuan rangkaian tindak pidana yang masih berhubungan dengan perkara pidana dalam persidangan yang ketiga tersebut.
Sehingga putusan pidana yang telah diterima jika dijumlah adalah 21 (dua puluh satu) tahun, maka putusan ketiga yang dijatuhkan adalah putusan nihil dengan dasar pertimbangan KUHP Pasal 12 ayat (4) jo Pasal 66 ayat (1).
Dengan demikian beberapa perbuatan pidana yang dilakukan tidak murni berdiri sendiri melainkan mengandung unsur perbarengan yang dalam hal ini adalah concursus realis.
Sehingga dalam pengenaan pemidanaannya menggunakan ketentuan 65 atau 66 dengan ketentuan pidana maksimum yang dapat dijatuhkan adalah pidana yang terberat ditambah sepertiga.
Meskipun setelah dilakukan pengecekan dalam situs putusan MA, Perkara Pidana Nomor 66/Pid.B/2017/PN Ksr tidaklah diputus selama 3 (tiga) tahun melainkan hanya selama 2 (dua) tahun.
Dengan demikian total keseluruhan pemidanaan yang telah dijalani oleh terpidana tidak melebihi dan tepat selama 20 tahun penjara.
Terlepas dari perbedaan total pemidanaan yang dijatuhkan pada putusan yang kedua dan ketiga tersebut, disini sudah terlihat adanya pengakuan penjatuhan maksimum pidana yang sepatutnya dijatuhkan kepada seseorang berdasarkan KUHP Pasal 12 ayat (4) jo Pasal 66 ayat (1).