TRIBUNNEWS.COM - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memprediksi dan mengkhawatirkan pengakuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait 12 kasus pelanggaran HAM berat berujung ilusi dan retorika.
Sehingga, YLBHI mendesak agar pengakuan Jokowi itu juga ditindaklanjuti dengan kebijakan yang strategis.
"YLBHI mendesak pengakuan dan penyesalan tersebut harus dibuktikan secara konkrit melalui proses hukum, tindakan dan keputusan-keputusan strategis," tulis YLBHI dalam keterangan persnya yang dikutip pada Sabtu (14/1/2023).
YLBHI juga mengkritik pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) sebagai pencitraan Jokowi di penghujung masa jabatannya.
Pembentukan tim ini, lanjutnya, dinilai hanya pemenuhan janji politik Jokowi serta pemberian hak impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat.
"Hal ini dapat kita lihat dalam 11 rekomendasi yang disampaikan oleh TPP HAM 11 Januari 2023 melalui Menkopolhukam Mahfud MD kepada presiden, di mana tidak ada satupun yang menyebutkan adanya dorongan pemerintah untuk akselerasi dan akuntabilitas penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM berat yang selama ini mangkrak di Kejaksaan Agung," papar YLBHI.
Baca juga: Soal Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat, Maruf Amin: Tak Semua yang Diinginkan Bisa Dipenuhi
Di sisi lain, YLBHI dan 18 LBH lainnya juga menyoroti pembentukan TPP HAM yang dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
YLBHI pun mengutip pasal 47 UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui ekstra yudisial harus dibentuk melalui sebuah UU.
"Jadi mekanisme penyelesaian non yudisial yang hanya berdasar Keputusan Presiden tentu secara legitimasi hukum menjadi patut dipertanyakan kekuatan hukumnya, karena justru bertentangan atau melanggar Undang-Undang," tegas YLBHI.
4 Keraguan YLBHI soal Penyelesaian HAM Berat Era Jokowi
YLBHI memiliki empat hal yang memunculkan adanya keraguan dalam penyelesaian HAM berat di era pemerintahan Jokowi.
Pertama, YLBHI menyoroti peran Jaksa Agung yang tidak serius mengungkap dan meminta pertanggunjawaban pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan melalui proses penyidikan yang independe, transparan, dan akuntabel oleh Kejaksaan Agung usai penyelesaian 12 penyelidikan kasus oleh Komnas HAM.
YLBHI mencontohkan kasus Semanggi I dan II yang dianggap bentuk ketidakseriusan Jaksa Agung dalam penyelesaian kasus HAM berat.
Hal tersebut lantaran Jaksa Agung menganggap peristiwa Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Mahfud MD Jelaskan Langkah Pemerintah Setelah Presiden Akui Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu