TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) berjanji akan menindak jika ada praktik jual beli keadilan restoratif (restorative justice) di kalangan penegak hukum, terutama di lingkungan kejaksaan.
"Jika masyarakat menemukan adanya tindakan indisipliner, ketidakprofesionalan, penyalahgunaan kewenangan dan tindakan-tindakan tercela yang dapat mencederai rasa keadilan dan mengganggu berbagai kegiatan masyarakat, mohon kiranya dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana dalam keterangannya yang diterima Tribunnews.com, Rabu (18/1/2023).
"Apabila laporan tersebut mengandung kebenaran, kami pastikan akan ditindak dan tidak segan-segan akan dipidanakan. Sebab penegakan hukum humanis yang kami tunjukkan kepada masyarakat jangan sampai disalahgunakan," kata Ketut.
Praktik jual beli restorative justice sebelumnya disinggung oleh anggota Komisi III DPR RI Adang Daradjatun.
Hal itu disampaikannya dalam rapat bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Senin (16/1/2023).
Adang mengatakan bahwa dirinya menduga adanya upaya jual menjual penyelesaian perkara lewat restorative justice.
"Saya minta kedalaman, ini enggak main-main ya, karena saya lihat di lapangan ini restorative justice ini sudah mulai jual-menjual," kata mantan Wakapolri itu.
Terkait apa yang disampaikan Adang Daradjatun dalam rapat dengan LPSK itu, Ketut Sumedana mengatakan penerapan restorative justice dilakukan berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan ketentuan hukum acara yaitu Pasal 139 dan 140 KUHAP.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa Penuntut Umum mempunyai kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik.
Kewenangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf c yaitu “turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya”.
Baca juga: Polisi Bebaskan Ibu Rumah Tangga Pencuri Motor di Tambora Lewat Restorative Justice
Hal itu kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 34A yaitu “untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan / atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan kode etik”
"Dalam penerapan restorative justice oleh Kejaksaan, hal yang paling utama adalah adanya upaya perdamaian dari kedua belah pihak dan korban/keluarganya memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana," kata Ketut Sumedana.
Ia menyebut restorative justice sudah memperoleh pengakuan dan penghargaan internasional serta dampaknya sangat luar biasa di masyarakat yakni dapat mengurangi resistensi di masyarakat serta memberikan efek jera sebagai sanksi sosial di masyarakat, serta dapat mengurangi biaya yang tinggi dalam penegakan hukum.
"Oleh karenanya, penerapan restorative justice harus kita jaga bersama demi penegakan hukum yang lebih baik dan humanis," kata Ketut Sumedana.