TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas mengungkapkan dua alasan mengapa ide Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta Kementerian Pertahanan sebagai orkestrator intelijen pertahanan keamanan perlu dipertimbangkan ulang.
Sebab, kata Anton, langkah tersebut berpotensi untuk mengganggu tata kelola sektor keamanan di Indonesia.
Ia mengatakan ada dua alasan mendasar, mengapa ide tersebut harus ditinjau kembali.
"Pertama, ide tersebut jelas tidak sejalan dengan UU No 17/2011 tentang Intelijen Negara," kata Anton ketika dikonfirmasi pada Selasa (24/1/2023).
Baca juga: Presiden Jokowi Minta Kementerian Pertahanan Orkestrasi Informasi Intelijen
Anton membenarkan bahwa Kementerian Pertahanan adalah satu dari bagian penyelenggara intelijen negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 9e UU tersebut.
Meski demikian, kata Anton, patut diingat sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 UU Intelijen Negara, fungsi koordinasi dijalankan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) bukan Kementerian Pertahanan.
"Dengan kata lain, ide tersebut jelas bertentangan dengan legislasi yang mengatur spesifik tentang intelijen negara," kata Anton.
Kedua, lanjut dia, permintaan orkestrasi informasi intelijen pertahanan dan keamanan juga tidak sejalan dengan UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara.
Pasal 16 UU Pertahanan Negara, lanjut dia, sudah jelas mengatur ruang lingkup pekerjaan dari Menteri Pertahanan.
Baca juga: Panglima TNI: Kami Punya Perangkat Intelijen dan POM Untuk Antisipasi Oknum Nakal di Pemilu 2024
Dalam klausa tersebut, menurutnya tugas Menhan secara spesifik disebutkan untuk merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan dalam sektor pertahanan.
Sekalipun Pasal 16 poin e membuka ruang Menhan untuk bekerja sama dengan pimpinan kementerian dan lembaga lain dalam menyusun dan melaksanakan renstra, kata Anton, bukan berarti Menhan dapat diberdayakan sebagai orkestrator intelijen hankam.
Justru, lanjut dia, hal tersebut membuka ruang baru tanpa berbasis Undang-Undang dapat berpotensi memundurkan proses reformasi sektor keamanan yang tidak lagi meleburkan sektor pertahanan dan keamanan dalam satu organisasi, selayaknya di era Orde Baru.
"Jika merasa masih ada yang kurang dalam pengelolaan produk intelijen maka Presiden Jokowi semestinya dapat memanggil Kepala BIN ataupun Menko Polhukam untuk kemudian mendiskusikan perbaikan dalam hal tersebut," kata Anton.
Memberikan tugas tambahan kepada Menhan, menurut Anton hanyalah akan makin menambah kompleks serta permasalahan baru dalam tata kelola intelijen negara.
Semestinya, lanjut dia, justru Presiden Jokowi mengingatkan kepada Menhan untuk melaksanakan semua tugas yang tertera dalam Pasal 16 UU Pertahanan Negara.
Sebab, kata dia, hingga kini, masih belum semua tugas yang secara eksplisit ada dalam pasal tersebut dilakukan oleh Menhan.
Salah satu tugas yang hingga kini belum tereralisasi, kata Anton, adalah penyusunan Buku Putih Pertahanan yang telah diatur dalam Pasal 16 ayat 4 UU Pertahanan Negara.
"Di akhir masa kepemimpinan, ada baiknya Presiden Joko Widodo tidak meninggalkan warisan yang membuat mundur pelaksanaan reformasi sektor keamanan," kata Anton.
"Sebab, improvisasi yang tidak berbasis secara legal formal dan hanya berlandaskan kepentingan politik sesaat akan memberi dampak buruk jangka panjang, tidak hanya bagi institusi sektor keamanan tetapi juga nasib reformasi sektor keamanan," sambung Anton.
Diberitakan sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Kementerian Pertahanan untuk mengorkestrasi informasi intelijen dari lembaga-lembaga negara yang memiliki fungsi intelijen.
Jokowi mengatakan lembaga-lembaga tersebut di antaranya BIN, TNI, Polri, dan juga BSSN.
Hal tersebut disampaikannya usai membuka Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan tahun 2023 di kantor Kementerian Pertahanan RI Jakarta Pusat pada Rabu (18/1/2023).
"Saya menyampaikan pentingnya kementerian pertahanan menjadi orkestrator informasi-informasi intelijen di semua lini yang kita miliki. Kita kan memiliki ada, informasi intelijen BIN, informasi intelijen di TNI, di Polri, di BSSN," kata Jokowi.
Informasi tersebut, kata dia, perlu diorkestrasi menjadi sebuah informasi yang solid.
Dengan demikian, kata dia, informasi tersebut bisa dijadikan bahan untuk pemerintah dalam membuat kebijakan.
"Semuanya itu harus diorkestrasi sehingga menjadi sebuah informasi yang solid, yang informasi itu diberika ke kita untuk membangun sebuah policy, atau kebijakan," kata Jokowi.
Terkait hal tersebut, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan Presiden Jokowi meminta Kementerian Pertahanan untuk menjadi semacam koordinator informasi intelijen.
Dengan demikian, kata dia, Indonesia bisa selalu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan di depan.
"Dan beliau minta Kementerian Pertahanan untuk menjadi semacam koordinator supaya Indonesia selalu antisipasi dan tidak terdadak oleh segala kemungkinan," kata Prabowo.