“Itu adalah bentuk kreativitas karena menghadapi situasi yang semakin kompetitif. Jadi mengemis ini tidak mudah, makin banyak saingan. Sehingga mereka perlu berkreasi untuk mendapatkan belas kasihan masyarat,” jelasnya dikutip dari laman unair.ac.id, Kamis (19/1/2023).
Prof Bagong menuturkan, fenomena ini muncul karena ada kesenangan melihat orang menderita, dimana masyarakat akan memberi lebih banyak jika pengemis lebih tersiksa, seperti mengguyur lebih banyak hingga berendam lebih lama.
Baca juga: Laporkan Akun TikTok Pengemis Online Mandi Lumpur, Lutfi Agizal: Generasi Kita Mau Dibawa Kemana?
Ia pun menyayangkan adanya konten kreator yang mengeksploitasi orang tua mereka.
“Itu yang harus ditangkap. Ini masuk kategori orang yang bukan karena terpaksa tapi justru dia mengeksploitasi penderitaan orang-orang yang tidak berdaya untuk memperkaya dirinya sendiri,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR ini.
Lebih jauh fenomena “Ngemis Online” tidak bisa ditindak seperti halnya pengemis pada umumnya dengan bantuan Dinas Sosial atau Satpol PP.
Karena itu ia meminta, masyarakat tidak menyumbang atau tidak menonton konten tersebut.
Guru Besar Sosiologi Ekonomi ini berharap agar pemerintah dan masyarakat bertindak adil dan tidak menstigma negatif terhadap orang miskin.
Sebab, banyak masyarakat miskin yang perlu bantuan sehingga terpaksa untuk mengemis. Penindakan keras justru dilakukan kepada orang yang memanfaatkan masyarakat miskin untuk kekayaan pribadi.
“Ini harus dipilah, kita tidak bisa menghakimi semuanya salah, harus dilihat siapa yang melakukan karena dia butuh hidup, itu tidak masalah. Inikan sama seperti artis yang membuka donasi terbuka, kan sama. Lah kenapa kalau artis tidak kecam, orang miskin dikecam,” ungkap dia.