Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sebanyak empat poin pada tahun 2022 dari tahun sebelumnya bukan karena penegakan hukum di bidang korupsi.
Hal tersebut, kata dia, karena indikator terkait penegakan hukum dalam IPK tersebut justru naik.
"Yang sekarang menjadi masalah itu bukan karena penegakan hukumnya di bidang korupsi, karena penegakan hukum itu naik. Penegakan hukum itu naik satu," kata Mahfud di kanal Youtube Kemenko Polhukam RI pada Jumat (3/2/2023).
Menurutnya masalah yang menjadi salah satu faktor penyebab turunnya IPK Indonesia adalah pada birokrasi perizinan.
Mahfud mengatakan banyak yang berpendapat masih banyak terjadi kolusi dalam proses perizinan investasi.
Menurutnya banyak proses perizinan di daerah pertambangan, kehutanan, dan sebagainya yang terdapat praktik kolusi.
Persoalan-persoalan semacam itulah, kata Mahfud, yang kemudian dirasakan atau menjadi persepsi masyarakat internasional.
Pemerintah, kata dia, telah mengetahui dan menanganinya di antaranya dengan membuat kebijakan-kebijakan baru yang sifatnya strategis.
"Itulah sebabnya pemerintah itu lalu mengeluarkan undang-undang cipta kerja dalam bentuk omnibus law. Itu maksudnya agar tidak bertele-tele dalam proses perizinan, tidak dikerjakan oleh beberapa meja tapi ada satu pintu," kata Mahfud.
Baca juga: Mahfud MD Bicara Menurunnya Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia
Menurut Mahfud dalam tiga tahun terakhir pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh negara itu sudah luar biasa.
Kejaksaan Agung, kata dia, telah melakukan upaya yang diibaratkannya dengan melakukan amputasi terhadap tangan pemerintah sendiri.
"Orang pemerintah sendiri ditangkapi semua. Asuransi Jiwasraya, Asabri, satelit Kemhan, menterinya dua ditangkap, gubernurnya digelandang, bupati-bupati ditangkap OTT dan semua. Pemerintah sudah bersungguh-sungguh memberantas kalau dalam arti tindakan," kata dia.
Dari sisi administrasi birokrasi, kata dia, saat ini pemerintah sedang menyiapkan instrumen hukum yang memungkinkan pemerintah bekerja cepat dan mengontrol dengan cepat.
Oleh sebab itu, kata dia, dibuat program digitalisasi pemerintahan bernama Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang akan segera disahkan oleh presiden.
Program tersebut, kata dia, ditujukan agar korupsi, kolusi, atau pembayaran di bawah meja bisa ditangkal.
"Jadi kalau kita akan tetap seperti saya katakan kita akan bangun digitalisasi biar tidak banyak orang kena OTT. Tapi OTT harus tetap dilakukan sebelum SPBE-nya sudah jadi. Kalau SPBE sudah jadi misalnya masih ada korupsi ya tangkap juga. Tapi upaya untuk itu sudah dilakukan," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan turunnya IPK Indonesia pada tahun 2022 telah menjadi kerisauan unsur pemerintah yang mengurusi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Menurutnya, hal tersebut memperihatinkan.
"Ini memang penurunan yang tertinggi karena selama pemerintahan reformasi itu naik terus termasuk pada era Pak Jokowi naik secara konsisten, dan tiba-tiba ini turun," kata Mahfud.
Diberitakan sebelumnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun empat poin dari tahun sebelumnya.
Saat ini, IPK Indonesia berada di angka 34.
Indonesia menempati peringkat 110 dari 180 negara yang dilibatkan.
Penurunan IPK Indonesia pada tahun 2022 dinilai sebagai yang terburuk sepanjang reformasi.
"CPI (Corruption Perceptions Index) Indonesia 2022 kita berada di 34, rangking 110. Dibanding tahun lalu, turun empat poin dan turun 14 rangking-nya," ucap Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam jumpa pers di Pullman Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2023).
Skor IPK Indonesia di 2022 setara dengan negara-negara seperti Bosnia-Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal, dan Sierra Leone.
Sementara, di level ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura dengan IPK 83, Malaysia 47, Timor Leste dan Vietnam 42, dan Thailand 36.
Wawan mengatakan, Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak dua poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak tahun 2012.
Situasi itu, terang dia, memperlihatkan respons terhadap praktik korupsi masih berjalan lambat bahkan terus memburuk akibat minimnya dukungan nyata dari para pemangku kepentingan.
"Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995," kata Wawan.
Wawan menyebut terdapat delapan indikator penyusunan IPK.
Tiga indeks mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu yaitu PRS International Country Risk Guide (dari 48 menjadi 35); IMD World Competitiveness Yearbook (dari 44 menjadi 39); dan PERC Asia Risk Guide (dari 32 menjadi 29).
Indeks yang mengalami kenaikan yaitu World Justice Project - Rule of Law Index (dari 23 menjadi 24) dan Varieties of Democracy Project (dari 22 menjadi 24).
Sementara tiga yang stagnan yaitu Global Insight Country Risk Ratings (47); Bertelsmann Foundation Transform Index (33); dan Economist Intelligence Unit Country Ratings (37).
Secara global, Denmark negara yang menempati posisi pertama dengan IPK 90.
Diikuti oleh Finlandia dan Selandia Baru dengan skor IPK 87.
Menurut Wawan, institusi demokrasi yang kuat dan penghormatan besar terhadap hak asasi manusia juga menjadikan negara-negara tersebut menjadi negara paling damai menurut Global Peace Index.
Sementara itu, Sudan Selatan (13), Suriah (13) dan Somalia (12) yang seluruhnya terlibat konflik berkepanjangan tetap berada di posisi bawah.
Selain itu, sebanyak 26 negara di antaranya Qatar (58), Guatemala (24), dan Inggris (73), berada di posisi terendah dalam sejarah tahun ini.
Diketahui, organisasi internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik itu rutin mengeluarkan skor IPK setiap tahunnya.
Skor berdasarkan indikator 0 atau sangat korup hingga 100 yang berarti sangat bersih.