Saya agak susah kalau menjawab itu karena tingkat kesulitan di kami insan PNM itu di level sempurna. Jadi saking sempurnanya ya harus dihadapi dan dijalani.
Justru di dalam kesulitan itu kami banyak merasakan kenikmatan supaya bagaimana kami bisa berperan terhadap orang lain. Dan bagaimana kami bisa membantu apalagi kemarin tiga tahun pandemi Covid-19.
Tadi sudah disinggung mengenai kelompok terpinggir, kami punya 300 ribu kelompok yang saat ini menjadi nasabah aktif mendapatkan pembiayaan dan pendampingan. Itu tersebar hampir 650 kecamatan dan desa di 34 Provinsi Indonesia.
Nah siapa saja mereka, mereka adalah orang-orang pinggiran yang buat makan pun masih harus berhitung. Apalagi untuk sekolah anak, rekreasi, dan lain-lain.
Sebenarnya sekolah sudah dibiayai oleh pemerintah tetapi kalau anak itu tidak dibelikan tas bagus dan sepatu bagus maka tidak mau berangkat sekolah.
Dan bagaimana orang tua bisa membelikan kebutuhan anak itu kalau untuk makan saja susah ditambah pandemi. Ini balik lagi ke ciri khas masyarakat kita karena hampir tidak ada anak yang dilahirkan kemudian punya mimpi jadi pengusaha.
Ciri khas itu yang kami manfaatkan untuk mendorong kelompok terpinggir untuk melakukan usaha subsistensi. Kami dorong untuk tumbuh dan berkembang.
Rupanya itu menjadi kunci kemudahan bagi kami juga melakukan peneterasi menumbuhkan jumlah nasabah kami sampai saat ini.
Bisa diceritakan progres PNM hingga sekarang memiliki 16,9 juta nasabah?
Ini kan bukan hasil kerja Arief Mulyadi. Kami punya keluarga besar PNM sebanyak 67 ribu karyawan di seluruh Indonesia.
Ada 59 ribu usianya di bawah 25 tahun. Dan 29 ribu lebih usianya di bawah 20 tahun. Saya jadi bapak nggak direktur utama di PNM.
Jadi kunci sukses PNM ini karena keterlibatan anak-anak muda?
Saya prediksi itu, kami banyak didukung oleh gen z. Satu lagi dari 59 ribu karyawan mungkin 98 persen memang kita ambil dari keluarga yang ekonominya tidak terlalu baik.
Kami ambil dari putra putri lokal yang lulusan SMA bahkan kadang-kadang yang akreditasinya cukup terdengar.