Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami penggunaan uang oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau 2019-2022, M Syahrir yang diperoleh dari pengurusan Hak Guna Usaha (HGU).
Pendalaman materi pemeriksaan ini ditelusuri tim penyidik KPK kala memeriksa karyawan BUMN bernama Issanova Winny Damora pada Selasa (7/2/2023).
Kemudian, materi pemeriksaan itu juga didalami penyidik dari dua wiraswasta yang diperiksa pada Senin (6/2/2023), yakni Nicky Adliperkasa dan Andrising Husin.
"Para saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan penggunaan uang yang diterima tersangka MS dari pengurusan HGU," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Selasa.
Sedianya, penyidik KPK juga memeriksa ibu rumah tangga bernama Ratna Dewi Setiasari. Namun, Ratna mangkir.
Baca juga: KPK Periksa Tukang Cukur Langganan Lukas Enembe, Ini Alasannya
"Saksi tidak hadir dan segera dilakukan penjadwalan ulang," kata Ali.
M Syahrir diduga menerima suap sebesar 120.000 dolar Singapura (setara dengan Rp1,2 miliar) dari kesepakatan Rp3,5 miliar terkait perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari (AA).
Uang Rp1,2 miliar itu bersumber dari kas PT AA dan diserahkan General Manager PT AA Sudarso di rumah dinas Syahrir pada September 2021.
Baca juga: Periksa Plh Gubernur Papua Ridwan Rumasukun, KPK Duga Ada Pihak Pengaruhi Saksi Kasus Lukas Enembe
Selain itu, dalam kurun waktu September 2021 hingga 27 Oktober 2021, Syahrir juga menerima aliran sejumlah uang baik melalui rekening bank pribadi maupun atas nama beberapa pegawai BPN sejumlah Rp791 juta yang berasal dari pemegang saham PT AA Frank Wijaya.
Tak hanya itu, pada kurun waktu tahun 2017 sampai dengan tahun 2021, Syahrir juga diduga menerima gratifikasi sejumlah sekitar Rp9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi.
Baca juga: Ini Isi Surat Lukas Enembe untuk Ketua KPK Firli Bahuri
M. Syahrir sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus dugaan suap ini melibatkan pemegang saham PT AA Frank Wijaya yang sudah lebih dulu ditahan KPK di Rutan Polres Jakarta Selatan.
Sementara Sudarso saat ini tengah menjalani penahanan di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat terkait kasus lain.
Adapun kasus ini merupakan pengembangan dari perkara yang menjerat Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) Andi Putra, dimana ia telah divonis dengan pidana 5 tahun dan 7 bulan penjara serta pidana denda Rp200 juta subsider empat bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pekanbaru.
Andi Putra dinilai terbukti menerima suap terkait dengan pengurusan perpanjangan izin HGU PT AA.
Suap diberikan oleh Sudarso yang telah divonis dengan pidana 2 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.
Namun, kasus itu belum inkrah karena jaksa KPK dan Andi Putra mengajukan banding.