Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana turut menyoroti menurunnya skor indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia.
Kata Kurnia, salah satu penyebabnya yakni tidak padunya pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.
Hal itu ditandai kata Kurnia dengan adanya menteri di Kabinet Indonesia Maju yang mengeluarkan statemen perihal upaya-upaya memberangus koruptor.
Baca juga: Anjloknya IPK Indonesia 2022 Dinilai ICW Sebagai Gagal Total Pemberantasan Korupsi Era Jokowi
"Kalau kita kaitkan dengan aspek politik hari ini banyak sekali pernyataan-pernytaan pembantu Jokowi dalam kabinet Indonesia maju yang juga tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi," kata Kurnia dalam acara diskusi bersama Total Politik yang mengangkat tema 'Persepsi Korupsi Merosot, Kinerja Pemberantasan Korupsi Disorot', Minggu (12/2/2023).
Adapun menteri yang dimaksud oleh Kurnia yakni Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut kalau operasi tangkap tangan hanya membuat citra Indonesia jelek.
Serta, nama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menyebut kalau pejabat kepala daerah tidak perlu ditindak juga melakukan kejahatan melainkan hanya dibimbing.
"Pertama Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, dia bilang OTT itu membuat citra Indonesia jelek. KPK baiknya berhenti melakukan OTT. Yang kedua, Tito Karnavian dua tiga minggu yang lalu, (menyatakan) kalau kepala daerah diduga melakukan tindakan kejahatan sebaiknya jangan ditindak tetapi didampingi," ucapnya.
Kondisi tersebut yang menurut Kurnia letak ketidaksamaan cita-cita negara dalam memberantas korupsi dengan pernyataan para menterinya.
"Itu menandakkan belum ada frekuensi yang sama di internal kabinet Indonesia maju memandang urgensi pembenahan pemberantasan korupsi," kata dia.
Baca juga: Mahfud Sebut Pernyataan Luhut Soal OTT Ikut Pengaruhi Anjloknya IPK Indonesia
Hal tersebut juga yang menurut Kurnia, menjadi salah satu penyebab skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merosot.
Bahkan poinnya kata dia tidak tanggung-tanggung, yakni mencapai 4 angka, dan disebut menjadi yang terburuk selama reformasi.
"Jadi beberapa hal itu disusun menjadi puzzle jawabannya adalah ipk anjlok dari 38 ke 34 gitu," tukas Kurnia.
Sebelumnya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun empat poin dari tahun sebelumnya. Saat ini, IPK Indonesia berada di angka 34.
Indonesia menempati peringkat 110 dari 180 negara yang dilibatkan.
Penurunan IPK Indonesia pada tahun 2022 dinilai sebagai yang terburuk sepanjang reformasi.
"CPI (Corruption Perceptions Index) Indonesia 2022 kita berada di 34, rangking 110. Dibanding tahun lalu, turun empat poin dan turun 14 rangking-nya," ucap Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam jumpa pers di Pullman Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2023).
Skor IPK Indonesia di 2022 setara dengan negara-negara seperti Bosnia-Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal, dan Sierra Leone.
Sementara, di level ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura dengan IPK 83, Malaysia 47, Timor Leste dan Vietnam 42, dan Thailand 36.
Baca juga: Presiden Kumpulkan Sejumlah Menteri dan Kepala Lembaga Bahas Anjloknya IPK Indonesia
Wawan mengatakan, Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak dua poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak tahun 2012.
Situasi itu, terang dia, memperlihatkan respons terhadap praktik korupsi masih berjalan lambat bahkan terus memburuk akibat minimnya dukungan nyata dari para pemangku kepentingan.
"Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995," kata Wawan.
Wawan menyebut terdapat delapan indikator penyusunan IPK.
Tiga indeks mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu yaitu PRS International Country Risk Guide (dari 48 menjadi 35); IMD World Competitiveness Yearbook (dari 44 menjadi 39); dan PERC Asia Risk Guide (dari 32 menjadi 29).
Indeks yang mengalami kenaikan yaitu World Justice Project - Rule of Law Index (dari 23 menjadi 24) dan Varieties of Democracy Project (dari 22 menjadi 24).
Sementara tiga yang stagnan yaitu Global Insight Country Risk Ratings (47); Bertelsmann Foundation Transform Index (33); dan Economist Intelligence Unit Country Ratings (37).
Secara global, Denmark negara yang menempati posisi pertama dengan IPK 90.
Diikuti oleh Finlandia dan Selandia Baru dengan skor IPK 87.
Menurut Wawan, institusi demokrasi yang kuat dan penghormatan besar terhadap hak asasi manusia juga menjadikan negara-negara tersebut menjadi negara paling damai menurut Global Peace Index.
Sementara itu, Sudan Selatan (13), Suriah (13) dan Somalia (12) yang seluruhnya terlibat konflik berkepanjangan tetap berada di posisi bawah.
Selain itu, sebanyak 26 negara di antaranya Qatar (58), Guatemala (24), dan Inggris (73), berada di posisi terendah dalam sejarah tahun ini.
Diketahui, organisasi internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik itu rutin mengeluarkan skor IPK setiap tahunnya.
Skor berdasarkan indikator 0 atau sangat korup hingga 100 yang berarti sangat bersih.