TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia diajak terus memupuk semangat nasionalisme dan rasa cinta pada Tanah Air Indonesia melalui pembangunan, di tengah munculnya strategi baru China Dream yang dijalankan pemerintahan Presiden China Xi Jinping terhadap para Tionghoa perangtauan di luar negeri belakangan ini.
Strategi Xi Jinping ini dikhawatirkan akan berimbas pada jutaan etnis Tionghoa di Indonesia.
“Baik Tionghoa maupun komponen bangsa Indonesia lainnya dihimbau untuk tetap menjalankan panggilan bersama untuk membangun bangsa dan negara di tengah arus globalisasi dan tarik-menarik kekuatan-kekuatan dunia,” ajak Michael Andrew, aktivis dan co-founder Roemah Bhineka di seminar bertajuk “Kebijakan Kewarganegaraan Tiongkok dan Etnik Tionghoa di Indonesia” yang diselenggarakan Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Cikini, Jakarta, Sabtu 25 Februari 2023.
Dalam berbagai pidato dan pernyataan resminya yang dikutip secara luas oleh media, Presiden China Xi Jinping dan sejumlah pejabat tinggi di bawah kepemimpinannya sering menggunakan istilah-istilah yang menegaskan kembali hubungan antara Tiongkok dan orang-orang Tionghoa perantauan yang tersebar di seluruh dunia, tanpa memandang apapun kewarganegaraan mereka.
Xi Jinping dinilai sedang menjalankan strategi ingin melibatkan seluruh Tionghoa perantauan termasuk yang berada di Indonesia menoleh kembali negeri leluhur mereka, Tiongkok, untuk membangun kembali kejayaan Tiongkok Raya.
Strategi politik global Xi Jinping ini bertolak belakang dengan strategi China di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping di masa lalu.
Saat itu, Pemerintah Deng Xiaoping tegas menyatakan bahwa Pemerintah Tiongkok melepaskan pengakuannya atas orang-orang Tionghoa perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing/menjadi warga negara asing negara mereka merantau.
Pengakuan tersebut tertuang dalam undang-undang kewarganegaraan yang diterbitkan pada tahun 1980.
Baca juga: Indonesia Diminta Waspadai Gerakan China-Kamboja di Laut China Selatan
Terkait dengan ini, Ketua FSI yang juga seorang dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Johanes Herlijanto, Ph.D. mengatakan perubahan kebijakan Pemerintah China terkait orang-orang Tionghoa di luar China mulai mencuat sejak Xi Jinping dikukuhkan sebagai pemimpin tertinggi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk pertama kalinya.
"Kongres PKC ke-20 Oktober 2022 lalu mengukuhkan kembali Xi Jinping sebagai Ketua Partai Komunis China (PKC) yang ke-3 kalinya. Pengaruh putusan kongres PKC ini terhadap Chinese Overseas (China seberang lautan atau Tionghoa perantauan)," kata Johanes.
Baca juga: Pengamat: Manuver Kapal Penjaga Pantai China di ZEE Natuna Makin Bahayakan Kedaulatan RI
“Segera setelah berada di tampuk kekuasaannya pada 2013, Xi Jinping mempopulerkan konsep Impian Cina (China Dream) yang bertujuan pada peremajaan kembali (rejuvenation) bangsa Tiongkok. Xi Jinping menganggap peranakan Tionghoa di luar negeri sebagai aset.," ujar Johanes.
"Dalam upaya meremajakan kembali bangsa Tiongkok inilah, Xi Jinping mempopulerkan konsep ‘satu keluarga besar Tionghoa’ (Zhonghua da jiating), yang merujuk pada seluruh orang-orang Tionghoa tak peduli apapun status kewarganegaraan mereka,” ujar Johanes.
Johanes menilai, Pemerintah China di bawah Xi Jinping juga menggunakan istilah ‘saudara sebangsa dari seberang lautan’ (haiwai qiaobao) untuk merujuk pada etnik Tionghoa di berbagai belahan dunia.
"Di era Xi Jinping muncul beberapa kebijakan terhadap Tionghoa Seberang Xi Jinping memggulirkan konsep Impian Tiongkok atau China Dream dan rejuvenasi China. Rejuvenasi dan konsep satu keluarga besar Tionghoa (Zhonghua Da Jiating). Istilah yang digunakan Xi Jinping dalam pidato-pidatonya," ungkap Johanes.
Baca juga: Tingkatkan Pengamanan di Perbatasan, TNI Bakal Tambah Pasukan di Natuna
Johanes menambahkan, Xi Jinping lewat kebijakannya ini ingin mengembalikan kejayaan bangsa Tiongkok dengan melibatkan partisipasi warga Tionghoa di luar China.
"Ajakan ini mungkin akan mudah mempengaruhi imigran baru Tionghoa di luar negeri seperti yang masuk ke Indonesia setelah tahun 1960an, tapi saya tak yakin ini akan berhasil pada Tionghoa imigran lama karena mereka sudah sangat menyatu dengan budaya lokal Indonesia," bebernya.
Merujuk pada pernyataan Profesor Leo Suryadinata, Johanes menyatakan pada tahun 2014, Xi pernah mengatakan bahwa Tiongkok yang bersatu adalah akar bersama dari putra dan putri Tiongkok di dalam dan di luar Cina.
Baca juga: Australia-Filipina Gelar Patroli Militer Bersama di Laut China Selatan
“Dalam pandangan Profesor Suryadinata, Xi menggunakan istilah putra putra Tiongkok (Zhonghua ernu) untuk merujuk baik orang-orang Tionghoa yang berada di Tiongkok maupun yang berada di luar Tiongkok,” ujar Johanes.
Sejalan dengan kebijakan Xi Jinping, sejumlah pejabat tinggi China juga menekankan sikap yang sama dalam pernyataan-pernyataan mereka dalam sepuluh tahun belakangan ini.
Kembali merujuk pada Suryadinata, Johanes mengatakan, pada 2015, di hadapan para pengusaha Tionghoa dari berbagai belahan dunia, Perdana Menteri Li Keqiang menyampaikan harapannya agar para pebisnis Tionghoa seberang lautan berperan sebagai ‘kekuatan baru yang efektif’ bagi transformasi ekonomi dan pembangunan di Cina.
Sementara itu, dalam sebuah pidato pada September 2015, Duta Besar Tiongkok untuk Malaysia menyatakan penekanan berikut “…huaqiao dan huaren, ke mana pun kalian pergi, tak peduli sudah berapa generasi kah kalian, Tiongkok akan selamanya menjadi rumah ibu yang hangat bagi kalian.”
Johanes mengigatkan, pernyataan-pernyataan serupa pernah pula disampaikan oleh para pejabat Tiongkok di Indonesia.
“Menurut catatan Profesor Suryadinata, pada April 2012, Direktur dari Kantor Urusan Tionghoa Perantauan Beijing, Li Yinze, menganjurkan generasi muda Tionghoa Indonesia untuk belajar Bahasa Mandarin demi memperkuat identifikasi mereka dengan bangsa Tiongkok,” papar Johanes.
Johanes juga menyinggung pernyataan seorang pejabat lain pada 2015, yang menyatakan bahwa “Tanah leluhur tidak akan pernah melupakan kontribusi besar dari huaqia dan huaren di luar negeri. Tiongkok akan selalu menjadi pendukung kuat (strong backer) bagi masyarakat keturunan Tionghoa di luar negeri.”
Johanes mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang seolah menegaskan kembali hubungan antara Tiongkok dan etnik Tionghoa di luar Tiongkok itu bisa menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah dan elit politik di negara di mana orang-orang Tionghoa tersebut tinggal.
Namun demikian, menurutnya, kekhawatian di atas bukanlah tanpa jalan keluar.
“Dalam kasus Indonesia, makin kuatnya akar kebangsaan Indonesia di kalangan seluruh etnik Tionghoa kiranya dapat menjadi sebuah penangkal yang jitu baik terhadap kecurigaan yang muncul di kalangan non Tionghoa,” ujar Johanes.
Michael Andrew, berpendapat, dalam kasus di Indonesia, etnik Tionghoa telah mengalami berbagai peristiwa kontekstualisasi sehingga memiliki nasionalisme keindonesiaan yang mengakar.
“Apalagi Tionghoa Indonesia sudah berpisah sangat lama dengan Tiongkok dan masyarakatnya sehingga memiliki kebudayaan yang saling berbeda,” ungkapnya.
Michael mengatakan, orang-orang Tionghoa Indonesia selama ini telah berkontribusi dalam berbagai bidang di Indonesia, baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan bidang-bidang lainnya.
"Mereka akan berpikir berkali kali menanggapi upaya Tiongkok untuk mendekati orang-orang Tionghoa di Indonesia,” ungkapnya.
Menanggapi strategi baru politik luar negeri Xi Jinping tersebut, Michael menghimbau agar baik orang Tionghoa maupun non Tionghoa agar tetap mengutamakan keberpihakan pada Indonesia.
“Jangan pernah lelah mencintai bangsa dan negara ini karena Indonesia akan maju jika orang-orang Indonesia, apapun sukunya, agamanya, golongannya, benar-benar memiliki kecintaan kepada bangsa dan negaranya,” katanya.
"Orang Tionghoa di Indonesia mudah beradaptasi dengan masyarakat lokal. Mereka juga bisa melakukan kontekstualisasi yang bisa membawa asimilasi, akulturasi dan bahkan inkluturasi (menghasilkan kebudayaan baru)," ungkap Michael.
Contoh hasil kontekstualisasi, misalnya budaya konsumsi mie di masyarakat Indonesia yang sudah secara luas dinikmati masyarakat Indonesia padahal sebenarnya berasal dari Tiongkok.
"Ini menjadi kekuatan masyarakat Tionghoa maupun non Tionghoa di Indonesia karena memunculkan local wisdom antara orang Tionghoa dari Indonesia dengan Tionghoa dari Tiongkok," kata dia.