Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melaporkan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) soal temuan 134 pegawai Direktorat Jenderal Pajak memiliki saham di 280 perusahaan.
"Mungkin besok (dilaporkan ke Kemenkeu). Orang udah ada excel-nya," kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan saat ditemui di kantor Kementerian Bappenas, Jakarta, Kamis (9/3/2023).
Menurutnya, sebetulnya tidak ada aturan yang melarang pegawai pajak untuk memiliki saham.
Namun, dalam peraturan pemerintah (PP) lainnya disebutkan tidak etis apabila pegawai pajak memiliki saham.
"Tidak etis, waktu PP 80 dilarang berbisnis, tapi PP berikutnya itu enggak jelas aturnya. Hanya bilang agar memilih kegiatan yang etis," ujarnya.
Pahala mengakui bahwa hingga kini belum ada aturan pelarangan pegawai pajak memiliki saham.
"Sekarang enggak ada," ungkapnya.
Baca juga: 4 ASN Pajak yang Kini Disorot Publik: Ada yang Berharta Rp 56 Miliar hingga Minus Rp 900 Juta
Sebelumnya, Pahala mengatakan temuan tersebut berdasarkan hasil analisis database Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara (LHKPN).
"Kita lakukan pendalaman terhadap data yang kita punya, tercatat bahwa 134 pegawai pajak ternyata punya saham di 280 perusahaan," kata Pahala Nainggolan di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu (8/3/2023).
Pahala menyebut kepemilikan saham oleh penyelenggara negara yang tercantum dalam LHKPN memiliki informasi terbatas.
Dalam artian, hanya nilai sahamnya saja yang dicatatkan dalam laporan harta tahunan itu.
Namun demikian, aset, penghasilan, maupun utang dari perusahaan terkait tidak dirincikan dalam LHKPN.
Mengenai temuan 134 pegawai pajak itu, Pahala berkata bahwa tidak berarti penyelenggara negara tak boleh memiliki saham.
Hal tersebut, lanjutnya, sudah diakomodasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010.
PP Nomor 53 Tahun 2010 itu mengatur Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
PNS harus menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.
"Jadi itu kita lihat bahwa sebenarnya bukannya tidak boleh, karena PP Nomor 30 Tahun 80 dulu memang melarang, tetapi PP Nomor 53 Tahun 2010 tidak jelas disebut bahwa tidak tegas dilarang, tetapi dibilang begini, harus beretika dan tidak berhubungan dengan pekerjaan," kata Pahala.
Lebih jauh, Pahala mengatakan KPK saat ini masih menelusuri 280 perusahaan itu.
Jangan sampai perusahaan itu ternyata dimiliki oleh konsultan pajak.
"Khusus data ini kita dalami 280 perusahaan ini yang berisiko kalau perusahaannya konsultan pajak," kata dia.
"Pekerjaan saya pegawai pajak tapi saya punya saham di konsultan pajak. Itu yang kita dalami, jadi itu yang kita dapat dari data LHKPN kita, nanti akan kita sampaikan ke Kemenkeu juga untuk didalami 134 orang ini sambil kita lihat juga bagaimana profil dan kekayaannya," imbuh Pahala.
Namun, Pahala mengatakan jika dilihat dari namanya, perusahaan ini berasal dari berbagai jenis unsur salah satunya katering.
"Yang berisiko kalau perusahaan itu konsultan pajak atau konsultan, bukan berarti yang lain enggak berisiko, berisiko juga, tapi ini yang paling tinggi risikonya," ujar Pahala.
"Kira-kira jalannya begini, apa sih risiko dari pegawai pajak? Dia berhubungan dengan wajib pajak dan risiko korupsinya, dia menerima sesuatu dengan wewenangnya, kan dia punya wewenang dan jabatan. kenapa kita kilang berisiko konsultan pajak? Karena dengan wewenangnya dia bisa menerima sesuatu," katanya.