"Jadi bukannya membawa manfaat bagi negara, proyek hilirisasi ini justru akan memberi beban finansial besar bagi keuangan negara,” ujar Novita.
Kendala kesepakatan keuangan antarpihak terlibat, seperti telah diperkirakan IEEFA, akan membuat pemerintah terpaksa turun tangan mengucurkan bantuan-bantuan.
Presiden Jokowi diberitakan akan segera menerbitkan Peraturan Presiden agar
perusahaan terlibat tidak mengalami kerugian dalam menjalankan bisnisnya.
“Hal ini makin mempertegas bahwa dari awal proyek ini tidak layak dan hanya mengutamakan kepentingan bisnis,” ujarnya.
Ia menambahkan, berbagai kemudahan dan insentif juga telah diberikan bagi perusahaan yang melakukan penambahan nilai dengan menghilirisasi batubara melalui UU Minerba dan Perppu Cipta Kerja.
“Jika kepastian subsidi ini akan diatur dalam Perpres khusus, maka hal ini menunjukkan pemerintah Indonesia tidak mampu menentukan skala prioritas di mana dana publik seharusnya bisa dialihkan untuk kebutuhan pendanaan transisi energi bersih terbarukan yang masih sangat minim,” tekan Novita.
Baca juga: Gasifikasi Batubara Dinilai Jadi Energi Alternatif Masa Depan
Tidak hanya secara ekonomi, proyek gasifikasi batubara juga merusak lingkungan.
Laporan AEER (2020) mengungkap, jika proyek beroperasi maka akan menghasilkan emisi lima kali lebih banyak, 4,26 juta ton CO2-eq per tahun, dibandingkan proses pembuatan LPG dengan kapasitas sama, 1,4 juta ton per tahun.
“Upaya Indonesia dalam mencapai Perjanjian Paris, menekan laju emisi dan transisi energi berkeadilan akan terhambat dengan proyek nilai tambah semu seperti gasifikasi,” tutupnya.(Willy Widianto)