News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Gangguan Ginjal Akut

11 Rekomendasi Komnas HAM RI Untuk Presiden Terkait Kasus Gagal Ginjal Akut

Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Komisioner Pengaduan Komnas HAM RI Hari Kurniawan saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Sabtu (11/3/2023).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM RI mengumumkan hasil proses pemantauan dan penyelidikan terhadap kasus gagal ginjal akut atau Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) di Indonesia yang telah menelan korban ratusan anak.

Komisioner Pengaduan Komnas HAM RI Hari Kurniawan menyampaikan rekomendasi untuk presiden terkait kasus tersebut dibagi menjadi dua aspek.

Pertama adalah terkait penanganan dan pemulihan korban.

Rekomendasi Komnas HAM terkait aspek tersebut, kata dia, adalah agar Presiden RI mengakui bahwa Negara melakukan pembiaran atau tindakan tindak efektif sehingga mengakibatkan hilangnya hak untuk hidup dan hak atas kesehatan bagi setidaknya 326 anak di Indonesia.

Kedua, kata dia, agar Presiden memastikan penanganan dan pemulihan bagi korban atau penyintas secara komprehensif dalam rangka menjamin terpenuhinya standar kesehatan tertinggi melalui pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan bagi korban sebagaimana telah diamanatkan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

"Ketiga, memastikan penanganan dan pemulihan terhadap keluarga korban yang mengalami dampak psikologis (trauma), dan dampak sosial ekonomi lainnya yang diakibatkan dari peristiwa yang telah menghilangkan setidaknya 204 nyawa anak di Indonesia," kata Hari saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Sabtu (11/3/2023). 

Keempat, lanjut dia, merekomendasikan Presiden melakukan penanganan dan pemulihan korban atau keluarga korban dapat dilakukan dengan memberikan akses terhadap rehabilitasi dan kompensasi secara cepat dan jangka panjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Aspek kedua yang direkomendasikan Komnas HAM bagi Presiden adalah terkait penguatan regulasi dan tata kelola kelembagaan.

Pertama, kata dia, Komnas HAM RI merekomendasikan Presiden melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait sistem tata kelola pelayanan kesehatan dan kefarmasian, terutama berkaitan dengan surveilans kesehatan dan sistem pengawasan.

Baca juga: Temuan Komnas HAM, Terdapat 326 Kasus Ginjal Akut di Indonesia yang Tersebar di 27 Provinsi

Kedua, lanjut dia, Presiden agar melakukan penguatan terhadap tata kelola kelembagaan dan peningkatan kompetensi SDM instansi pemerintah yang memiliki otoritas terkait pelayanan kesehatan dan pengawasan kefarmasian.

Ketiga, lanjut Hari, mengingat kompleksitas tantangan persoalan kesehatan dan besarnya tanggung jawab dalam pengawasan obat dan makanan di Indonesia, maka diperlukan pengaturan secara khusus melalui Undang-Undang terhadap mandat dan kewenangan BPOM RI.

"Terutama untuk post-marketnya, itu harus ada pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan," kata Hari.

Keempat, Komnas HAM merekomendasikan perlu adanya regulasi yang secara khusus mengatur tentang sistem kefarmasian di Indonesia atau RUU Kefarmasian.

Kelima, lanjut dia, mengingat sudah tidak relevannya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular terutama terkait penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) dalam permasalahan kesehatan. 

Salah satu substansi penting, kata dia, yaitu belum adanya pengaturan terkait kondisi darurat kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular sebagai KLB. 

"Untuk itu, perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan dimaksud," sambung dia.

Keenam, kata Hari, Komnas HAM merekomendasikan perlu adanya regulasi khusus yang mengatur tentang pengawasan terhadap proses produksi, distribusi, dan pemanfaatan senyawa kimia berbahaya dan beracun di Indonesia.

Baca juga: Kesimpulan Komnas HAM RI: 8 Hak Asasi Manusia Dilanggar Dalam Kasus Gagal Ginjal Akut

Hal tersebut, lanjut dia, termasuk memastikan adanya mandat dan kewenangan yang jelas atau tidak tumpang tindih dan terpadu (terintegrasi) antar instansi yang memiliki otoritas terkait.

"Ketujuh, menjamin ketidak-berulangan kasus serupa di kemudian hari," kata Hari.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini