TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mendukung langkah Persatuan Pensiunan Indonesia (PPI) dalam mendorong pemerintah merevisi UU No.11/1969 tentang Pensiun.
Organisasi bagi pensiunan ASN ini berada di bawah kepemimpinan Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri sekaligus Gubernur/Rektor IPDN dan Gubernur Lemhannas pertama yang berasal dari kalangan sipil, Prof. Ermaya Suradinata.
Dorongan untuk merevisi UU tentang pensiun didasari karena jumlah pensiunan di Indonesia bukanlah angka yang sedikit. Merujuk data Badan Kepegawaian Negara (BKN), selama periode 2021-2024 saja, ada sekitar 706.438 aparatur sipil negara yang pensiun.
Angka tersebut di luar jumlah pensiunan yang telah purna bakti sebelum tahun 2021. Bahkan PPI memperkirakan, jumlah pensiunan di Indonesia beserta keluarganya bisa mencapai 40 juta orang.
"Penyegaran UU tentang Pensiun sangat penting, dengan memperhatikan berbagai aspek, baik anggaran, isu demografi, serta dinamika sosial-ekonomi dan politik. Mengingat besaran nilai manfaat dan ketentuan pensiunan sebagaimana diatur UU No.11/1969, sudah tidak relevan dan kongruen dengan kondisi saat ini. Tidak heran jika dampak maupun benefitnya belum dirasakan secara optimal oleh para pensiunan," ujar Bamsoet dalam peringatan HUT ke-1 PPI, di Gedung Dwi Warna Lemhannas, Jakarta, (17/3/2023).
Acara ini juga dihadiri oleh Ketua Dewan Pembina PPI Feisal Tamin, Ketua Umum PPI Ermaya Suradinata, serta Sekretaris Jenderal PPI Masni Rani Mochtar.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, laporan Mercer CFA Institute, dari 44 sistem pendapatan pensiun di seluruh dunia, Indeks Pensiun Global Indonesia tahun 2022 berada pada kisaran 49,2. Lebih kecil dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai indeks 50,4. Penurunan nilai indeks ini juga berdampak pada peringkat Indonesia yang turun ke posisi 39 dari periode sebelumnya di peringkat ke-35.
"Berdasarkan studi Citi group, bahkan negara-negara maju sekalipun, juga dihadapkan pada problematika terkait pensiun. Sebanyak 20 negara maju yang tergabung dalam organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan (OECD), termasuk di dalamnya Inggris, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada, juga mengalami krisis dana pensiun sekitar 78 triliun US dollar. Bahkan sejumlah negara diperkirakan memiliki kewajiban pendanaan pensiun publik di atas 300 persen dari produk domestik bruto," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, sejak awal kelahirannya, PPI sudah menggaungkan visi mulia.
Visi mulia tersebut berkaitan dengan kesejahteraan, perlindungan sosial, jaminan pendapatan dan kapasitas individu, guna mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak hidup pensiunan abdi negara.
Visi ini selaras dengan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Strategi Nasional Kelanjut-usiaan yang diterbitkan guna mewujudkan lanjut usia Indonesia yang mandiri, sejahtera, dan bermanfaat.
"Meskipun masih sangat muda, kehadiran PPI telah menjadi oase yang mengisi dahaga bagi sekian banyak abdi negara yang telah purna-bhakti, yang mendambakan adanya wadah organisasi tempat bernaung untuk terus berkarya. Pensiun adalah puncak pengabdian setelah bertahun-tahun bekerja, namun pensiun bukanlah sekat pembatas yang menghalangi kita untuk terus berkontribusi bagi pembangunan," pungkas Bamsoet. (*)