TRIBUNNEWS.COM - Vonis bebas pada dua polisi yang menjadi terdakwa kasus Kanjuruhan berujung pada kekecewaan para keluarga korban Tragedi Kanjuruhan.
Diketahui Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya telah memvonis bebas dua terdakwa yakni Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan AKP Bambang Sidik Achmadi.
Vonis bebas tersebut diberikan dengan pertimbangan tembakan gas air mata yang ditembakkan para personel Samapta Polres Malang hanya mengarah ke tengah lapangan.
Setelahnya, asap tersebut mengarah ke pinggir lapangan. Namun sebelum sampai ke tribun, asap itu tertiup angin menuju atas.
Artinya, kata majelis hakim, yang bersangkutan tidak memerintahkan jajarannya menembakkan gas air mata ke arah tribun.
Sehingga, menurut Hakim, unsur kealpaan terdakwa sebagaimana dakwaan kumulatif jaksa, yakni Pasal 359 KUHP, Pasal 360 ayat (1) dan Pasal 360 ayat (2) KUHP, tidak terbukti.
Baca juga: Dua Polisi Divonis Bebas Kasus Tragedi Kanjuruhan, DPR Desak Jaksa Kasasi ke MA
Menanggapi hal tersebut keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, Rizal Putra Pratama mengaku sangat kecewa.
Lebih lanjut Rizal pun merasa hukum di Indonesia seolah-olah dibuat seperti guyonan.
Terlebih Tragedi Kanjuruhan ini membuatnya harus kehilangan Ayah dan kedua adiknya.
"Saya sebagai keluarga korban yang telah kehilangan ayah dan kedua adik saya sangat kecewa dengan vonis tersebut, yang dibebaskan seolah-olah hukum di negeri ini itu seakan-akan dibuat guyonan seperti itu," kata Rizal dalam tayangan video di kanal YouTube Kompas TV, Sabtu (18/2/2023).
Lebih lanjut Rizal pun mempertanyakan mengapa persidangan model A di Surabaya ini hasilnya bisa menghasilkan vonis bebas seperti itu.
Baca juga: Pengacara Korban Kanjuruhan Sejak Awal Minta Presiden Terbitkan Perppu Soal Penyidik Independen
Padahal Tragedi Kanjuruhan ini telah menyebabkan ratusan korban jiwa.
"Apa persidangan model A di Surabaya dibuat seperti itu saya sangat kecewa dan hati saya sangat sakit," ungkap Rizal.
Meski demikian Rizal tak ingin menyerah, ia dan kuasa hukumnya tetap akan menentang vonis bebas kepada dua polisi yang menjadi tedakwa dalam kasus Kanjuruhan tersebut.
Kini pihaknya sedang memproses laporan model B terkait kasus Kanjuruhan ini.
Baca juga: Respons Wapres Maruf Amin Sikapi Vonis Bebas Terdakwa Kasus Kanjuruhan: Bisa Banding Hingga Kasasi
"Mereka dibebaskan, dibebaskan aja. Saya dan kuasa hukum saya tidak sependapat itu."
"Soalnya saya juga akan tetap melanjutkan proses laporan saya model B yang sampai sekarang belum dijalankan, dan masih berbelit-belit sampai sekarang ini," tegas Rizal.
Perlu diketahui, laporan polisi model A adalah laporan yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung suatu tindak pidana.
Sementara laporan polisi model B adalah laporan yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan yang diterimanya dari masyarakat.
Baca juga: Dua Terdakwa Tragedi Kanjuruhan Divonis Bebas, Kejaksaan Pastikan Bakal Kasasi
Komnas HAM: Vonis 3 Polisi di Kasus Kanjuruhan Belum Beri Rasa Keadilan Bagi Korban
Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM RI Uli Parulian Sihombing mengatakan pihaknya telah mengirimkan amicus curiae atau pendapat HAM ke Pengadilan Negeri Surabaya guna membuat terangnya peristiwa pelanggaran HAM di Stadion Kanjuruhan.
Selain itu, kata dia, langkah tersebut sekaligus untuk memastikan pemenuhan hak atas keadilan bagi korban dan keluarga.
Pada amicus curiae tersebut, kata Uli, Komnas HAM menyampaikan fakta-fakta peristiwa berdasarkan hasil pemantauan dan penyelidikan yang telah dilakukan serta merekomendasikan agar majelis hakim memberikan hukuman maksimal untuk para terdakwa kasus Kanjuruhan.
"Menyikapi hasil persidangan peristiwa Kanjuruhan yang telah diumumkan pada Kamis, 16 Maret 2023, Komnas HAM menyayangkan putusan majelis hakim terutama terhadap tiga orang terdakwa dari pihak kepolisian yang hanya divonis pidana sebanyak 1 tahun 6 bulan, dan dua orang lainnya diputus bebas," kata Uli dalam Keterangan Pers Komnas HAM pada Jumat (17/3/2023).
Baca juga: Hakim PN Surabaya Vonis Bebas 2 Polisi Terdakwa Kanjuruhan, Pengacara Korban Cium Kejanggalan
"Komnas HAM berpendapat bahwa putusan tersebut belum memberikan rasa keadilan bagi para korban dan keluarga mereka yang kehilangan nyawa serta mengalami luka-luka dalam tragedi tersebut," sambung dia.
Hal tersebut, kata dia, mengingat sejumlah fakta peristiwa yang menunjukkan bagaimana peran para terdakwa dalam pengendalian massa hingga penembakan gas air mata yang menyebabkan kepanikan penonton yang berujung 135 orang meninggal dunia.
Sejumlah fakta yang dibeberkan Uli antara lain:
Pertama, adanya situasi lapangan stadion yang bisa dikendalikan dan dikuasai hingga pukul 22:08:56 WIB namun aparat memilih untuk mengeluarkan tembakan gas air mata.
Kedua, penembakan gas air mata yang dilakukan secara beruntun dalam jumlah banyak dan tidak ada upaya untuk menahan diri dengan menghentikan tembakan meskipun para penonton sebagian besar sudah keluar dari lapangan karena panik.
Baca juga: KY Belum Terima Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Hakim Vonis Bebas Polisi Kasus KanjuruhanÂ
Ketiga, penembakan gas air mata tidak hanya sekadar menghalau penonton dari lapangan namun turut diarahkan untuk mengejar penonton dan ditembakkan ke arah tribune penonton terutama pada tribun 13.
Sehingga, lanjut dia, menambahkan kepanikan penonton dan membuat arus berdesakan untuk keluar stadion dari berbagai pintu dengan mata perih, kulit panas, dan dada terasa sesak.
"Keempat, pada dasarnya, ketiga terdakwa mempunyai kapasitas untuk mencegah penembakan gas air mata, menghentikan penembakan yang sudah terjadi, serta mengendalikan lapangan dan para personel keamanan agar tidak melakukan tindakan yang berlebihan (excessive use of force) namun hal tersebut tidak dilakukan," kata Uli.
Sebagai sebuah lembaga yang menghormati proses hukum dan independensi kekuasaan kehakiman sebagaimana Pasal 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kata Uli, Komnas HAM menghargai putusan hakim.
Baca juga: DPR Sebut Keputusan Hakim Nyeleneh Karena Bebaskan Dua Perwira Polri di Kasus Kanjuruhan
Akan tetapi, lanjut dia, Komnas HAM juga meminta dan mendorong Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melakukan upaya hukum lain seperti banding dan kasasi agar putusan tersebut dapat diperiksa ulang guna memastikan keadilan tercapai bagi para korban dan keluarga korban.
Komnas HAM, kata dia, berharap putusan banding ini nantinya dapat mengakomodasi restitusi, kompensasi serta rehabilitasi terhadap korban dan keluarganya.
"Tragedi Kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan Malang harus menjadi pengingat dan momentum bagi seluruh pemangku kepentingan agar mengarusutamakan hak asasi
manusia dalam setiap pengambilan tindakan dan kebijakan," kata dia
"Hal ini guna menghindari tindakan-tindakan kekerasan yang dapat membahayakan nyawa manusia serta memastikan kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan," sambung dia.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Gita Irawan)
Baca berita lainnya terkait Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.