TRIBUNNEWS.COM - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Indonesia, Mirah Sumirat menilai pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-Undang (UU) sudah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Lantaran sebelumnya, putusan MK menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional dan memerintahkan dilakukan perbaikan dalam dua tahun, tetapi pemerintah justru menerbitkannya.
"Pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya adalah pengabaian terhadap hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia," kata Mirah Sumirat dalam keterangannya, Rabu (22/3/2023).
Selain itu, penerbitan Perppu Ciptaker juga tidak dilatar belakangi kegentingan yang memaksa.
"Tidak dibahasnya Perppu Cipta Kerja dalam sidang pertama sejak Perppu diterbitkan, membuktikan sesungguhnya tidak ada kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat formil Perppu," katanya,
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Disahkan, Pengamat Sebut Presiden dan DPR Melanggar Norma UU PPP dan UUD 1945
Namun, Perppu yang menuai kontroversi itu justru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Atas pengesahan tersebut, DPR pun kini dianggap tidak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia, tetapi hanya mengikuti pemerintah hingga ada julukan baru yang disematkan untuk DPR yakni sebagai stempel Pemerintah.
"DPR tidak lagi memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. DPR hari ini ternyata hanya menjadi stempel bagi pemerintah!" ujar Mirah Sumirat.
Perppu Ciptaker Memuat Ketentuan yang Rugikan Para Pekerja
Secara substansi, ASPEK Indonesia menilai bahwa isi Perppu yang baru disahkan tidak berbeda jauh dengan Undang-Undang Ciptaker sebelumnya.
Perppu Ciptaker, kata Mirah tetap memuat ketentuan-ketentuan yang cenderung merugikan para pekerja.
Selain itu, ia juga menyoroti mengenai jaminan pekerjaan, upah, dan sosial yang tidak ada di dalam Perppu Ciptaker.
"Hilangnya kepastian jaminan pekerjaan, jaminan upah dan jaminan sosial dalam Undang-Undang Cipta Kerja maupun dalam Perppu Cipta Kerja, akan menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan bagi seluruh rakyat Indonesia."
9 Catatan Partai Buruh Tolak UU Cipta Kerja
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyampaikan bahwa ada sebanyak sembilan catatan yang menjadi alasan Partai Buruh menolak UU Cipta Kerja, rinciannya sebagai berikut:
1. Tentang upah minimum yang kembali pada konsep upah murah.
2. Tentang aktor outsourcing seumur hidup, karena tidak ada batasan jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing atau alih daya
3. Tentang kontrak yang berulang-ulang, bahkan bisa 100 kali kontrak.
4. Tentang besaran pesangon buruh yang murah.
5. Tentang PHK yang dipermudah.
6. Tentang pengaturan jam kerja yang fleksibel.
7. Tentang pengaturan cuti.
8. Tentang tenaga kerja asing, di mana dalam Perpu yang menjadi UU, diatur boleh bekerja dulu baru diurus administrasinya sambil jalan.
9. Tentang dihilangkannya beberapa sanksi pidana dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya, di omnibus law cipta kerja dihapuskan.
Baca juga: Pengesahan Perppu Cipta Kerja, Kado Pahit di Peringatan Hari Hutan Internasional
Sebagai informasi, Perppu Ciptaker sudah disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna IV yang digelar di Gedung Parlemen, Senayan pada Selasa (21/3/2023).
Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua DPR RI sekaligus Ketua Sidang Paripurna, Puan Maharani.
"Apakah rancangan undang-undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Puan.
"Setuju!" jawab peserta sidang paripurna.
Kemudian, Puan pun mengetuk palu sebanyak tiga kali.
(Tribunnews.com/Rifqah/Ashri Fadilla/Naufal Lanten)