TRIBUNNEWS.COM, MELBOURNE - Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengaku tak yakin dengan independensi hakim konstitusi saat ini.
Denny Indrayana menuturkan, hal itu berawal sejak pengubahan Undang Undang Mahkamah Konstitusi (MK), yang memperpanjang masa jabatan hakim MK selama 15 tahun atau hingga usia 70 tahun.
"Para hakim sebenarnya telah mendapatkan gratifikasi jabatan, dan mulai kehilangan moralitasnya sebagai negarawan," kata Denny Indrayana, melalui keterangan pers tertulis, Jumat (24/3/2023).
Lanjut Denny Indrayana, MK mulai kehilangan independensi saat pemberhentian sewenang-wenang kepada Hakim Aswanto.
"Ditambah dengan pemberhentian sewenang-wenang Hakim Aswanto, MK semakin kehilangan independensinya," katanya.
"Maka, berharap banyak untuk MK menunjukkan wibawanya sebagai pengawal konstitusi, saya khawatir, ibarat punguk merindukan bulan."
Karena ketidakyakinannya terhadap independensi MK saat ini. Denny memprediksikan, MK tidak akan berani membatalkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, yang baru disahkan DPR RI beberapa waktu lalu.
"Saya memprediksi, MK tidak akan tegas dan berani membatalkan Perppu Ciptaker yang telah dengan telanjang-terang-benderang, melecehkan dan melanggar syarat terbitnya Perppu, dan syarat-syarat Perppu menjadi UU," katanya.
Menurutnya, saat ini mayoritas hakim konstitusi telah tersandra dengan gratifikasi masa jabatan.
"Dan keinginan untuk tetap bertahan dan tidak diberhentikan dari kursi empuk Mahkamah Konstitusi," ungkapnya.
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengatakan, pelanggaran yang dilakukan Presiden dan DPR RI dalam pengesahan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja akan sulit dikoreksi Mahkamah Konsitusi (MK).
Ia menuturkan, secara konstitusional, MK harusnya melakukan koreksi terkait pengesahan Perppu Cipta Kerja, yang normalnya mengatakan Perppu Ciptaker tidak mematuhi putusan MK soal UU Ciptaker.
Menurutnya, UU Ciptaker harus dicabut karena tidak memenuhi tiga syarat konstitusional.
"Syarat kondisi kegentingan yang memaksa; syarat waktu harus disetujui DPR pada masa sidang berikutnya; dan syarat harus dicabut jika tidak mendapatkan persetujuan DPR," kata Denny Indrayana, kepada Tribunnews.com, Kamis (23/3/2023)
Namun, Denny mengungkapkan, ia tidak yakin dengan independensi dan integritas mayoritas hakim konstitusi.
"Tapi saya tidak yakin atas Independensi dan integritas hakim konstitusi. MK sekarang sebagaimana pula KPK, sudah dikerdilkan dan mudah diintervensi dengan pertimbangan dan kepentingan non-konstitusi," ungkapnya.
Pernyataannya itu terkait dengan pemberian hukuman sanksi teguran tertulis kepada Hakim Guntur Hamzah atas kesalahan yang fundamental. Yakni, mengubah putusan MK.
"Adalah indikasi kuat, bahwa hukuman ringan itu merupakan tukar-guling untuk Hakim Guntur untuk memutus perkara di MK sesuai kepentingan kekuasaan yang melindunginya," katanya.
"Hakim-hakim yang kehilangan integritas, akhirnya tetap bertahan di MK, dan menyebabkan MK kehilangan independensi dan kewibawaan institusionalnya," sambungnya.
Baca juga: Partai Buruh Siapkan Mogok Nasional dan Judicial Review ke MK Jika UU Cipta Kerja Tak Dibatalkan
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana merespons terkait DPR RI sahkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU Omnibus Law Ciptaker.
Diketahui, DPR RI mengesahkan Perppu Cipta Kerja pada masa persidangan IV tahun 2022-2023, pada Selasa (21/3/2023).
Denny mengatakan, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan DPR telah melanggar norma Undang Undang (UU) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
"Dengan menyetujui Perppu Cipta Kerja pada masa sidang DPR sekarang, Presiden dan DPR nyata-nyata melanggar norma UU PPP yang mereka buat sendiri, dan lebih membahayakan, dengan ringan tangan melanggar ketentuan UUD 1945," kata Denny Indrayana, dalam keterangan pers tertulis, Rabu (22/3/2023).
Lebih lanjut, Denny menjelaskan, penerbitan Perppu Cipta Kerja sudah cacat sejak kelahirannya.
Di samping tidak bisa menghadirkan argumentasi yang kokoh atas syarat konstitusional "kegentingan yang memaksa", DPR akhirnya tidak memberikan persetujuan sebagaimana diatur dalam konstitusi.
"Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 mensyaratkan Perppu harus disetujui DPR pada masa sidang berikutnya, dan harus dicabut jika tidak mendapatkan persetujuan DPR," jelas Denny.
"Masa sidang berikutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 52 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah '....masa sidang pertana DPR setelah Peraturan Pemerintah pengganti UU ditetapkan'. Itu artinya sudah dilewatu pada tanggal 16 Februari 2023 yang lalu" sambungnya.
Sebelumnya, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah disahkan menjadi Undang-Undang pada Sidang Paripurna IV yang digelar di Gedung Parlemen, Senayan pada Selasa (21/3/2023).
Hal ini disampaikan oleh Ketua DPR RI sekaligus ketua sidang paripurna, Puan Maharani.
"Apakah rancangan undang-undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Puan dikutip dari TV Parlemen.
"Setuju!" jawab peserta sidang paripurna.
Kemudian, Puan pun mengetuk palu sebanyak tiga kali.
Tak cukup sekali, Puan pun kembali bertanya kepada peserta sidang terkait kesetujuan pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Peserta pun kembali menyatakan setuju agar Perppu Cipta Kerja dijadikan undang-undang.
Sebelum disahkan, anggota DPR dari Fraksi Demokrat dan PKS menolak disahkannya Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Sebelumnya penerbitan Perppu Cipta Kerja diumumkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian (Menko Perekonomian), Airlangga Hartarto dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD di Istana Kepresidenan pada 30 Desember 2022 lalu.
Airlangga mengungkapkan, pertimbangan diterbitkannya Perppu tentang Cipta Kerja lantaran kebutuhan mendesak.
Ketua Umum Golkar itu menjelaskan kebutuhan mendesak yang dimaksud yaitu terkait ekonomi global, inflasi, resesi, hingga konflik antara Rusia-Ukraina.
"Pertimbangannya adalah pertama kebutuhan mendesak. Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait dengan ekonomi, peningkatan inflasi, ancaman stagflasi, dan juga terkait dengan geopolitik perang Ukraina dan Rusia, serta konflik lainnya yang belum selesai."
"Dan pemerintah menghadapi krisis pangan, keuangan, dan perubahan iklim," kata Airlangga dalam konferensi pers yang ditayangkan di YouTube Sekretariat Presiden.
Baca juga: Pengamat: Perusahaan Makin Mudah PHK Karyawan Usai Perppu Cipta Kerja Disahkan Jadi UU
Selain itu, Airlangga mengklaim terbitnya Perppu telah sesuai Putusan MK Nomor 38/PUU7/2009, yaitu memenuhi syarat kegentingan yang memaksa.
Airlangga juga mengatakan adanya Perppu ini mengubah sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja sesuai putusan MK seperti soal ketenagakerjaan upah minimum tenaga alih daya, harmonisasi peraturan perpajakan, hingga hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengungkapkan terbitnya Perppu menggugurkan status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja yang diputuskan oleh MK.
"Perppu itu setara dengan undang-undang di peraturan hukum kita. Kalau ada alasan mendesak, bisa," ujarnya.