TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyebut bahwa ada 10 lembaga pemasyarakatan (lapas) yang mengalami kelebihan atau overkapasitas di Indonesia.
Bahkan, ada lapas yang overkapasitas mencapai 845 persen.
"Paling fatal itu, yang paling berat begitu lapas Kelas II Bagan Siapi-Api overpopulasinya atau overkapasitasnya 845 persen," ujar Yasonna dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
"Itu berarti tempat satu orang dihuni (rata-rata) 8,4 orang. Jadi memang sangat mengerikan," imbuhnya.
Baca juga: Banyak Lapas Kelebihan Kapasitas, Komisi III Minta Penegak Hukum Efektifkan Tahanan Rumah-Kota
Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), saat ini Lapas Kelas II A Bagan Siapi-Api di Riau memiliki kapasitas 98 orang. Namun, jumlah narapidana yang ada mencapai angka 927 orang.
Yasonna mengaku tengah membereskan persoalan itu dengan membangun kapasitas baru.
Ia mengatakan pembangunan lapas Bagan Siapi-Api dalam waktu dekat akan selesai sehingga bisa menampung semua narapidana.
Lahan sudah disediakan oleh pemerintah daerah (Pemda) setempat.
"Jadi ini akan sangat baik sekali, kita akan diberikan tanah oleh pemda dan kemudian kita bangun," ujar Yasonna.
Berikut daftar 10 lembaga pemasyarakatan (lapas) yang mengalami kelebihan atau overkapasitas di Indonesia berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham):
1. Lapas Kelas II A Bagan Siapi-Api di Riau
Saat ini Lapas Kelas II A Bagan Siapi-Api di Riau memiliki kapasitas 98 orang. Namun, jumlah narapidana yang ada mencapai angka 927 orang.
2. Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Jeneponto
Kapasitasnya 44 orang tetapi dihuni 375 tahanan.
3. Lapas Kelas II A Labuhan Ruku
Diisi 2.030 tahanan dari kapasitas 300 orang.
Baca juga: Yasonna Ungkap Kengerian Over Kapasitas di Beberapa Lapas di Indonesia: Ada yang Sampai 845 Persen
4. Lapas Kelas II A Jambi
Diisi 1.407 tahanan dari kapasitas 218 tahanan.
5. Lapas Kelas II B Teluk Kuantan
Berkapasitas 53 orang tetapi diisi 339 tahanan.
6. Lapas Kelas II B IDI
Diisi 389 tahanan dari kapasitas 63 orang.
7. Lapas Kelas II A Pancur Batu
Diisi 872 tahanan dari kapasitas 145 orang.
8. Lapas Kelas II A Banjarmasin
Diisi 2.166 tahanan dari kapasitas 366 orang.
9. Rutan Kelas II B Balikpapan
Diisi 1.081 tahanan dari kapasitas 186 orang.
10. Lapas Kelas II B Tebing Tinggi Deli
Berkapasitas 310 dan dihuni 1.629 tahanan.
"Jadi ada 10 lapas yang boleh kita katakan (over populasinya) di atas 400 persen, di bawahnya banyak 300, 200 persen," ucap Yasonna.
Yasonna berharap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dapat mengatasi sejumlah permasalahan di lapas dan rutan.
Baca juga: Kompolnas Soroti Lapas Over Kapasitas Karena Pengguna Narkoba: Tak Ada Anggaran Rehabilitasi
Sebab, di dalamnya mengatur terkait keadilan restoratif yang juga terkoneksi dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.
"Nanti kita harapkan dia bisa dijadwalkan selesai menjadi Peraturan Pemerintah dan Rancangan Permenkumhamnya Agustus 2023, turunan dari UU 22/2022. Karena ini akan sangat penting, apalagi konsep-konsep restorative justice yang kita punyai," ujar Yasonna.
Selain itu Yasonna juga berharap DPR memprioritaskan penuntasan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang direncanakan akan digabung dengan UU Psikotropika.
Selain diharapkan dapat mengatasi permasalahan jumlah tahanan yang melebihi kapasitas lapas, perubahan terhadap undang-undang ini juga akan menggabungkan UU Psikotropika di dalamnya.
Usulan ini telah bergulir sejak Rapat Kerja Kemenkumham dengan Komisi III DPR pada 2 Februari 2022.
"Ini sudah saatnya kita mencabut UU Psikotropika dan memasukkan (ketentuan) psikotropika ke dalam UU Narkotika," ujar Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej.
UU Pemasyarakatan yang disahkan pada Juli 2022 bertujuan memperkuat sistem pemasyarakatan di Indonesia.
Pemasyarakatan merupakan salah satu bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system.
Itu merupakan sistem yang menyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakukan terhadap tahanan, anak, dan warga binaan dalam tahap praajudikasi, ajudikasi, dan pascaajudikasi.
Penyelenggaraan pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu didasarkan pada sebuah sistem yang disebut sebagai sistem pemasyarakatan yang merupakan satu tatanan mengenai arah dan batas.
Dengan itu semua, pemasyarakatan tidak lagi hanya pada tahap akhir dari bekerjanya sistem peradilan pidana. Namun, sudah bekerja sejak dimulainya proses peradilan pidana.
Sementara itu Revisi Undang-Undang Narkotika sebelumnya sempat ramai dibicarakan, khususnya setelah tragedi kebakaran Lapas Kelas I Tangerang.
Undang-undang ini dianggap menjadi salah satu penyebab terjadinya jumlah tahanan yang melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas).
"Saya meminta Pak Ketua, ini adalah rancangan undang-undang yang telah lama dibahas, bahkan di Komisi III beberapa kali masuk keputusan rapat. Agar kiranya dapat dipercepat dan dapat diselesaikan," ujar Yasonna.
Menurut dia, sudah ada panja atau tim yang dibentuk oleh DPR.
Namun pembahasan mengenai RUU Narkotika sempat ditunda untuk sementara waktu guna membicarakan lebih lanjut terkait dengan penggabungan UU Narkotika dengan UU Psikotropika.
"Membutuhkan pembicaraan lebih lanjut dengan Komisi III dan kementerian/lembaga terkait," ucap Yasonna.
Ia berharap agar UU Narkotika ini dapat selesai sebelum 2024 untuk menjadi peninggalan Komisi III DPR dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) periode ini.
Terlebih RUU Narkotika merupakan salah satu rancangan undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020—2024.
"Kalau bisa diselesaikan Undang-Undang Narkotika, ini betul-betul suatu capaian signifikan, termasuk di dalamnya adalah penguatan criminal justice system, integrated criminal justice system," ujar Yasonna.(tribun network/riz/dod)