TRIBUNNEWS.COM - Tunjangan Hari Raya (THR) 2023 wajib dibayarkan secara penuh dan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.
THR diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih, baik yang mempunyai hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), termasuk pekerja/buruh harian lepas yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.
Lantas, bagaimana dengan pekerja wanita yang sedang mengambil cuti melahirkan, apakah mendapatkan THR?
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menjelaskan pertanyaan tersebut melalui akun Instagram resminya, @kemnaker.
Bagi pekerja wanita yang sedang mengambil cuti atau istirahat melahirkan, tetap mendapatkan THR.
Berikut penjelasannya:
Baca juga: Hari Ini THR PNS Mulai Dicairkan, Bagaimana Dengan Karyawan Swasta?
1. Pemberian THR Keagamaan didasarkan pada masa kerja.
Pekerja/buruh yang mendapat THR telah memiliki masa kerja 1 bulan/lebih.
2. Istirahat melahirkan termasuk hak pekerja/buruh sehingga mereka yang menjalankannya, upah dan THRnya harus tetap dibayarkan.
3. Ketidakhadiran selama menjalani istirahat melahirkan tidak meniadakan atau mengurangi hak THR yang bersangkutan sepanjang pekerja/buruh tersebut telah memenuhi masa kerja 1 bulan/lebih.
Bagaimana cara menghitung THR tahun 2023?
Aturan mengenai hal ini tertuang dalam surat edaran Nomor M/2/HK.04.00/III/2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2023 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, yakni:
1. Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih akan mendapatkan THR sebesar 1 bulan upah.
2. Pekerja/buruh dengan masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan perhitungan:
(masa kerja (bulan)):12) x 1 bulan upah
Contoh:
(6 bulan:12) x Rp 4.000.000 = Rp 2.000.000
3. Bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, upah 1 bulan dihitung sebagai berikut:
a. Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan atau lebih, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan
b. Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 bulan, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja
4. Bagi pekerja/buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan satuan hasil maka upah 1 bulan dihitung berdasarkan upah rata-rata 12 bulan terkahir sebelum hari raya kegamaan.
Ida mengatakan, terkait ketentuan mengenai besaran THR, dimungkinkan perusahaan memberikan THR yangn lebih baik dari peraturan perundang-undangan.
Dalam Permenaker 6/2016 diatur bahwa bagi perusahaan yang dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja bersama (PKB), atau kebiasaan yang berlaku di perusahaan tersebut telah mengatur besaran THR yang lebih baik dari ketentuan peraturan perundang-undangan, maka THR yang dibayarkan kepada pekerja/buruh tersebut sesuai dengan PK, PP, PKB, atau kebiasaan tersebut.
Ida menyatakan, hal yang penting untuk digarisbawahi terkait dasar perhitungan THR yang menggunakan upah ini.
Menurutnya, bagi perusahaan industri pada karya tertentu berorientasi ekspor yang melaksanakan penyesuaian waktu kerja dan upah sebagaimana yang diatur dalam Permenaker 5/2023 maka perusahaan tetap wajib membayar THR Keagamaan.
Upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan THR adalah nilai upah terakhir sebelum dilakukannya penyesuaian upah tersebut.
(Tribunnews.com, Widya)