TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota DPR-RI Komisi VIII yang di antaranya membidangi urusan agama, Hidayat Nur Wahid, mendukung usulan dari FOZ (Forum Zakat) untuk lakukan Revisi UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
HNW sapaan akrabnya menilai revisi diperlukan dalam rangka maksimalisasi potensi pengumpulan zakat, infak, sedekah (ziswaf) yang selain diselenggarakan oleh BAZNAS maupun Lembaga lain yang diakui Pemerintah, tapi juga diselenggarakan oleh yang disebut sebagai Amil Tradisional seperti tokoh dan institusi agama yang mengakar kuat di masyarakat seperti kyai, nyai, masjid, hingga pondok pesantren. Mereka selama ini sudah melaksanakan fungsi pengumpulan zakat dan efektif membagikannya serta dipercaya oleh masyarakat baik muzakki maupun mustahiq.
“Untuk mencapai target potensi zakat nasional yang sangat besar itu, perlu gotong royong dengan memaksimalkan seluruh potensi yang oleh masyarakat sudah diterima sebagai Amil Tradisional, yang menerima dan membagikan zakat dengan amanah. Jangan malah dikriminalisasi apalagi dengan ancaman pidana, atau dipersulit perizinannya. Mestinya mereka dibantu dan didampingi agar makin efektif dan amanah dalam melaksanakan fungsi sebagai Amil Tradisional," ucap Hidayat usai mengikuti audiensi Komisi VIII DPR-RI dengan Forum Zakat dan Raker dengan Baznas di Baznas pada Senin (10/4/2023).
"Apalagi komunitas keagamaan lokal seperti para Kiyai, Ustadz, Masjid dan Pesantren terbukti dapat efektif dalam mengelola zakat hingga dapat menyelesaikan beragam masalah kemiskinan dan ketimpangan di sekitar Masjid maupun Pesantren. Dan dengan fungsi itu mereka dapat menjaga Aqidah Umat agar tak dimurtadkan, membuat Umat jadi suka dengan Masjid dan ajaran Islam. UU Zakat seyogyanya mengakomodir kegiatan yang telah menjadi kearifan lokal tersebut,” tambahnya.
Oleh karena itu, HNW yang juga Wakil Ketua Majelis Syura PKS mengapresiasi Forum Zakat (FOZ) yang melakukan kerja audiensi dan advokasi dengan mengusulkan perlunya ada revisi terhadap UU Pengelolaan Zakat agar masalah tersebut dapat dikoreksi secara legal formal melalui revisi UU Zakat.
Hal ini bukan dalam rangka mendelegitimasi Baznas, atau tidak mengakui peran BAZNAS, melainkan maksimalisasi usaha pengumpulan zakat nasional melalui gerakan masyarakat berbasis dana keagamaan yang telah berperan luas di masyarakat akar rumput, dan itu sudah berlaku jauh sebelum UU Zakat hadir.
Selain itu juga agar para Amil Tradisional dilindungi dan dibantu dengan adanya payung hukum yang spesifik dapat menghilangkan keresahan mereka dari kemungkinan dipidana, dan meningkatkan kemampuan dan amanah mereka dengan berbagai program pelatihan dan pendampingan.
Dirinya sepakat bahwa pemusatan dana sosial keagamaan khususnya zakat dengan potensi nilai Rp 327 Triliun akan bisa diraih dan dikelola dengan lebih maslahat, bila tidak dipegang oleh satu institusi saja, karena bisa menimbulkan penyaluran yang tidak merata dan tidak berbasis kebutuhan masyarakat di tingkat lokal atau komunitas Umat di sekitar Masjid atau Pondok Pesantren.
“Kami di Komisi VIII DPR-RI mengapresiasi Forum Zakat yang mengadvokasi hal ini, dan kami berharap kolaborasi dengan Baznas dapat maksimal dilakukan, agar harapan potensi zakat yang sangat besar itu dapat dikumpulkan dan dibagikan untuk sebesar-besarnya maslahat bagi Umat dan Bangsa. Semua itu dalam rangka meningkatkan cakupan pengumpulan dana zakat nasional, serta mengoptimalkan program pengumpulan/pengelolaan zakat berbasis masyarakat, untuk maksimalisasi penghimpunan Zakat dan juga untuk menyelesaikan beragam masalah sosial ekonomi kemasyarakatan di sekitar Masjid maupun Pesantren yang menyebar di seluruh pelosok Nusantara,” pungkasnya. (*)