Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memperingati Hari Buruh Internasional, Perempuan Mahardika menuntut pemerintah untuk menyelesaikan kasus Marsinah yang memasuki tahun ke-30.
Pemerintah juga dituntut untuk menyejahterakan buruh, dimana kondisi kerja semakin hari semakin buruk.
Ketua Organisasi Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi mengatakan situasi buruh perempuan pada hari ini semakin banyak hak-hak buruh perempuan yang dilanggar, bahkan dihilangkan.
"Sistem 'No Work No Pay' sangat masif dijalankan, dan ini memiliki dampak yang sangat signifikan bagi kesejahteraan buruh," kata Mutiara di sela-sela Aksi Perempuan Mahardika di Kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Minggu (7/5/2023).
Dalam aksi perjuangan perempuan buruh, Perempuan Mahardika menuntut 8 hal kepada pemerintah.
Baca juga: Kahar: Capres yang Didukung Partai Buruh Harus Berkomitmen Mencabut UU Cipta Kerja
Pemerintah dituntut untuk menghentikan sistem No work no pay yang kerap dilakukan pengusaha.
Pemerintah juga dituntut untuk mencabut UU Perppu Cipta Kerja dan mencabut Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 yang semakin menyengsarakan buruh.
Pemerintah diminta untuk memberikan jaminan kebebasan berserikat dan memberikan perlindungan bagi pembela HAM, menghentikan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, serta mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Perempuan Mahardika juga menuntut kasus Marsinah dituntaskan.
Baca juga: Anies Baswedan Puji PKS Konsisten Perjuangkan Keadilan Kaum Buruh
Mutiara mengatakan perjuangan Marsinah 30 tahun yang lalu memiliki kaitan erat dengan perjuangan buruh perempuan saat ini.
"Ini tuntutan tiap tahun dalam peringatan peristiwa Marsinah. Kita tahu bahwa pengadilan yang dibuat untuk kasus Marsinah adalah pengadilan rekayasa, sehingga pelakunya di vonis bebas. Ada indikasi kasus ini melibatkan pihak yang mempunyai akses terhadap senjata api, itu tidak pernah dibawa ke pengadilan untuk diselidiki," kata Mutiara.