Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menekan Surat Presiden (Surpres) Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana untuk diserahkan kepada DPR. Surpres diteken pada Jumat (5/5/2023).
“Benar sudah di TTD hari Jumat dan langsung diserahkan ke DPR,” ujar Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin kepada wartawan, Senin (8/5/2023).
Surpres tersebut kata Bey sudah diterima DPR pada hari yang sama.
Dengan diterimanya Surpres, DPR akan membahas RUU tersebut setelah selesainya masa reses.
“Sudah diterima DPR pada Jumat. Diterima sekretariat DPR Jumat,” katanya.
Baca juga: 2 Wanita Hendak Terobos Istana Negara untuk Mengadu ke Jokowi, Ini Pengakuan Mereka Kepada Polisi
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa pemerintah terus mendorong agar Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset dapat segera diselesaikan di DPR. Menurut Presiden penerbitan peraturan tersebut sangat penting sekali.
“Kita terus mendorong agar RUU Perampasan Aset segera diselesaikan, penting sekali UU ini,” kata Jokowi di Depok, Jawa Barat, Kamis, (13/4/2023).
Jokowi mengatakan telah menyampaikan kepada DPR dan Kementerian terkait untuk segera menyelesaikan draft pembahasan RUU tersebut.
Apabila pembahasan rampung ia akan segera meneken surat presiden (Surpres).
“Saya sudah sampaikan juga pada DPR, kementerian terkait segera selesaikan kalau sudah rampung ya bagian saya untuk terbitkan surpres secepatnya,” kata Presiden.
Jokowi mengatakan sudah lama ia mendorong pembahasan RUU tersebut. Namun ia heran pembahasannya belum juga rampung.
“Sudah kita dorong sudah lama kok. Masa enggak rampung-rampung,” pungkasnya.
Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih mengatakan, saat ini, Indonesia masih sulit melakukan kerja sama internasional dalam rangka upaya memberantas tindak pidana korupsi.
Kata Yenti, salah satu faktornya yakni, karena Indonesia tidak memiliki aturan atau Undang-Undang yang mengatur soal perampasan aset.
Kerap kali, Indonesia ditanyakan perihal beleid tersebut di dunia internasional.
"Untuk kerja sama internasional selalu ditanyakan, mana undang-undang perampasan aset anda? Tidak punya kita," kata Yenti saat ditemui usai agenda Kumham Goes To Campus (KGTC) di Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Jumat (5/5/2023).
Baca juga: Ganjar Pranowo Raih Suara Terbanyak Hasil Musra Relawan Jokowi, Berikut Profil Bakal Capres PDIP
Oleh karenanya, Yenti menilai perlu, pemerintah segera mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tersebut agar segera disahkan oleh DPR.
Pasalnya kata dia, pembahasan terkait RUU Perampasan Aset ini bukan baru-baru ini dibahas, melainkan, sudah sejak beberapa tahun silam.
Namun, hingga kini, belum juga adanya keputusan pengesahan RUU tersebut.
"Jadi enggak bisa kalau gak buru-buru gitu kan, kalau sekarang mau ada Perppu ya silakan saja, tapi kalau bilang bahwa masih banyak yang dibahas, enggak mungkin," tegas dia.
Menurut Yenti, jika memang pemerintah serius dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi maka harusnya RUU tersebut perlu untuk disahkan.
"Perampasan aset itu kalau kita memang serius mau memberantas korupsi," kata Yenti.
Terlebih kata dia, pembahasan RUU tersebut sudah mulai dilakukan sejak beberapa tahun belakangan.
Tak cukup di situ, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan pemerintah juga beberapa kali mengadakan pembahasan soal RUU Perampasan Aset.
Hanya saja, hingga kini RUU yang dinilai bisa membuat korptor jera itu tidak juga disahkan.
"Saya sendiri ikut pembahasan 2006-2008 jadi masih ada kok orang-orangnya yang bisa bicara bahwa dulu itu kalau mau itu tinggal cepet kok, sudah bukan suatu hal yang baru," kata dia.
"Karena tahun 2006 itu sudah mulai ada embrio pemikiran ke sana," sambungnya.
Tak cukup di situ, penyandang gelar Doktor Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang pertama di Indonesia itu juga menyeret soal merosotnya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia.
Menurut dia, salah satu faktornya yakni karena tidak adanya peraturan yang mengatur soal perampasan aset yang menjadi salah satu upaya untuk membuat koruptor jera.
"Sekarang malah merosot ke 38 (indeks persepsi korupsinya) antara lainnya tidak ada perampasan aset sehingga tidak ada penjeraan," ucap Yenti.
Dengan begitu, Yenti mendesak agar pemerintah bisa segera menyerahkan RUU tersebut kepada DPR untuk segera dibahas.
Sebab dirinya mempertanyakan, sejatinya, pihak mana yang membuat proses pengesahan RUU Perampasan Aset terlalu berlarut disahkan.
"Artinya gini undang-undang itukan untuk rakyat yang menjadi korban korupsi yang pertama, ada juga korban kejahatan lain. Nah yang ditanyakan kepentingan masyarakatnya dong bukan kepentingannya penguasa, eksekutif dan legislatif, itu yang menjadi pertanyaannya itu yang harus didorong," tukas Yenti.