News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Menuju Satu Abad SD Xaverius Pringsewu Lampung, Redemtha Wasitah Merindukan Menteri Sri Mulyani 

Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ibu Redemtha Wasitah (kanan) dan foto murid SD Xaverius bersama Mgr. Albertus Hermelink Gentiaras SCJ. Redemtha Wasitah (87) guru SD Xaverius Pringsewu, Lampung, merindukan satu di antara muridnya yang sekarang jadi orang penting Indonesia, Sri Mulyani.

BERSYUKUR

Beberapa alumni bersyukur dan berterimakasih kepada SD Xaverius, Pringsewu, Lampung. Meski berada di daerah belum berkembang, Pringsewu yang waktu itu merupakan kota kecamatan kecil, ada lembaga pendidikan dasar yang cukup bermutu dengan menanamkan dasar nilai berguna bagi kehidupan mereka dalam masyarakat di kemudian hari.

Awie panggilan akrab Wiryanto Yudris adalah alumnus SD Xaverius yang sekarang Bernama SD Fransiskus pada 1975. Dirinya merasa bangga menjadi salah satu alumnusnya. Sekolah ini, menurut Awie telah banyak berkarya dalam memajukan dan meningkatkan kualitas masyarakat Pringsewu. Dan kualitas itu dibawa para alumni berkarya di berbagai kota di Indonesia.

Ia berharap bahwa pemerintah setempat mau bekerjasama dengan alma maternya untuk mempersiapkan generasi baru demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Rasa syukur juga diungkapkan alumnus SD Xaverius tahun 1973 yakni Agustina Sri Wahyuni,. Ia harus bersyukur karena meski merupakan sekolah Katolik, SD Xaverius pada waktu itu telah menanamkan nilai pluralisme kepada para muridnya yang terdiri dari berbagai strata sosial, agama dan etnis.

Ketika sekolah, para murid bersatu dan menyatu sebagai Indonesia kecil yang indah, tanpa diskriminasi oleh apapun. Terwujud nilai solidaritas tanpa kamar di antara para murid. Agustina sekarang berdomisili di Yogyakarta. Meskipun jarak memisahkan, ia dengan suka cita membuka bazar yang dimaksudkan untuk memeriahkan Reuni Agung itu.

Baca juga: SD Xaverius Pringsewu Lampung Menuju Satu Abad, Reuni Agung 19-20 Mei 2023 

Sementara Roberthus Hoyan Siubera memiliki kuat atas pondasi yang ditanamkan para Pendidikan SD Xaverius. Yang dikagumi adalah mata pelajar berhitung, menulis halus, budi pekerti, menyulam, baris berbaris, pemeriksaan kuku, prakarya dan lain-lain. Energi murid menurut Hoyan disalurkan secara positif oleh para guru.

Dirinya masih ingat peristiwa ketika menggunakan sepatu Bigboss. Meskipun termasuk sepatu keren pada masanya, sepatu itu tetap ditenteng ketika hujan. Dan, dia harus menerima ketika sepatu di bagian ujung jempol harus rusak terlebih dulu dan menjadi olok-olok rekan-rekannya. Hoyan menganggap bahwa olok-olok itu adalah pendidikan mental secara horizontal.

"Saya terpaksa harus mencari tiga bibit mangga sebagai hukuman menyusul dia menebang pohon mangga yang sedang panen dengan menggunakan chinsaw. Padahal 3 bibit mangga itu tidak ada di Pringsewu dan harus mencari sampai ke Bogor dan itupun dibeli dari Babah Punhok, ayah salah satu rekannya,“ ujar Hoyan sambil tertawa.

Cerita Hoyan belum selesai, Seorang suster harus marah, kecewa dan mendongkol ketika bunga Wijaya Kusumanya dipotong oleh murid-muridnya. Padahal awalnya suster tersebut ingin menunjukkan kepada para murid pada malam hari, proses pemekaran bunga yang termasuk langka tersebut.

Namun pada siangnya, suster tersebut terkejut, ketika mengetahui bunga-bunganya sudah dipotong dan dibawa pulang oleh muridnya,“ kenang Hoyan yang saat ini merupakan pengusaha. Ia berbisnis Smart Green Cleaners serta Digital Display. Ia juga mengembangkan Completation Fluid.

Kolase foto PARA SUSTER FSGM - Pendiri SD Xaverius Pringsewu, Lampung, yang diawali dengan kedatangan empat Suster missionaris dari Jerman pada 1932 dan PARA ALUMNI - Maria Caecilia Sukaptinah dan AM Putut Prabantoro (Ist)

Petrus Sumaryanto, SD Xaverius angkatan 1976. Sejak kecil dirinya telah disekolahkan di sekolah Katolik. Dan karena nilai-nilai humaniora yang telah ditanamkan saat kecil, dirinya merasa tidak kesulitan Ketika menjadi pendidik dengan nilai yang sama.

“Saya bersyukur pada jaman itu masih menikmati uang jajan dengan uang sen rupiah. Bahkan uang Rp 5 dapat mengenyangkan perut seharian. Sehingga tidak mengherankan uang sekolah jaman itu tidak mahal. Meski apa-apa murah, yang tidak murah adalah guru karena mereka menuntut disipilin dan tanggung jawab tanpa reserver. Ya kami ikutlah….,” ujar Petrus Sumaryanto.

Hukuman fisik diterima dan itu berlaku sama untuk murid laki-laki ataupun perempuan. Sebagai contoh, Sumaryanto mengenang, ketika mendapat giliran belum lancar membaca, dirinya mendapat hadiah cambuk.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini