Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Reformasi semestinya bisa menghadirkan keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.
Namun sayangnya, ketimpangan justru semakin meningkat akibat kuasa oligarki dalam politik dan ekonomi.
Menurut Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti salah satu pemicunya adalah keadilan sosial hanya dipahami sebagai upaya distribusi kekayaan oleh negara.
“Keadilan sosial tidak semata tentang distribusi kekayaan oleh negara tapi juga tentang equity, akses, partisipasi dan hak. Gawatnya, saat ini kewenangan negara atas nama keadilan sosial justru disalahgunakan,” kata Bivitri dalam Webinar 25 Tahun Reformasi yang digelar Gerakan Bersama Indonesia, Jumat (19/5/2023).
Bivitri mencontohkan kewenangan negara dalam mengelola kekayaan alam lewat BUMN justru disalahgunakan untuk keuntungan sekelompok orang, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Misalnya, kata Bivitri seperti bagi-bagi kursi komisaris BUMN kepada relawan.
Baca juga: Presidium Nasional 98: Reformasi Sudah Sepantasnya Selalu Diperingati
Maka paradigma tentang keadilan sosial, menurut Bivitri perlu dimulai dari menjamin kesempatan ekonomi yang setara serta terpenuhinya berbagai hak dasar untuk seluruh rakyat terutama untuk kelompok yang rentan.
“Keadilan sosial bukan cuma negara mengatur kekayaan, tapi negara memastikan bahwa rakyat Indonesia punya akses sumber daya ekonomi dan hak dasar mereka. Terutama kesehatan dan pendidikan. Ini yang harus banyak difokuskan,” ujar Bivitri.
Salah satu upaya konkret menjamin hak dasar menurut Bivitri telah tertuang dalam pasal 34 UUD 1945 yakni menyelenggarakan jaminan sosial.
“Keadilan sosial diwujudkan perlu diwujudkan lewat social security net. Memang kita punya yaitu BPJS, tapi sedang dirusak dengan RUU Kesehatan secara Omnibus Law. Secara hukum tidak tepat memasukan BPJS ke situ. Paradigma industri di dalamnya berbenturan dengan jaminan sosial. Memang BPJS belum sempurna. Tapi bahwa kita punya sistem, itu seharusnya terus dibangun,” ujar Bivitri.
Senada dengan Bivitri, Co-founder Bersama Indonesia, Grady Nagara, penegakan keadilan sosial harus dimulai dengan memenuhi hak semua warga secara sama (equality) dan hak kelompok rentan secara proporsional (equity).
“Kesamaan (equality) dan kesetaraan (equity) adalah fondasi penting bagi terwujudnya keadilan sosial," ucap Grady.
Grady memberikan contoh pembangunan jalur sepeda di Jakarta adalah manifestasi dari equity dalam kebijakan publik.
Menurutnya, pembangunan jalur sepeda jangan hanya dilihat dalam kacamata untung-rugi sebab ia adalah manifestasi dari equity dalam kebijakan publik.
“Secara statistik, sepeda adalah moda transportasi yang paling murah untuk diakses oleh kelompok rentan dengan tingkat sosial ekonomi bawah. Kebijakan transportasi berkeadilan mestilah mendahulukan kepentingan para pengguna sepeda dan pejalan kaki yang sebagian besar karakternya adalah para pekerja berupah rendah," ujar Grady.
Baca juga: Reformasi Dinilai Gagal karena Partai Politik Dikuasai Oligarki
Oleh karenanya, selain pembangunan jalur sepeda, transportasi publik yang dapat diakses oleh semua juga menjadi aspek penting dari equality.
Pemenuhan hak-hak rakyat secara sama dan setara juga mesti terimplementasi dalam kebijakan ekonomi yang terkait dengan lingkungan hidup.
Co-Founder Think Policy, Andytha F. Utami mengatakan bahwa selama ini pemangku kebijakan membuat narasi seolah kerusakan lingkungan dirasakan seolah sama dampak negatifnya oleh semua orang.
Padahal, kelompok rentanlah yang paling merasakan kerugiannya.
"Narasi bahwa kerusakan lingkungan adalah tanggung jawab bersama justru mengaburkan kenyataan bahwa pemegang kuasa ekonomi-politiklah yang sesungguhnya bertanggung jawab atas kehancuran lingkungan," kata wanita yang akrab disapa Afu.
Menurutnya, selama ini, aktivitas ekstraksi alam terus dilakukan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi tapi sebetulnya hanya segelintir orang yang diuntungkan dari aktivitas ekstraktif tersebut.
Afu mengatakan bahwa pada dasarnya, apa yang tersedia di permukaan bumi ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kehidupan seluruh penduduk dunia. Masalahnya, alam terus dikeruk untuk terus mendorong konsumsi atas nama pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Lanjutkan Cita-cita Reformasi, Ratusan Aktivis akan Dirikan Yayasan 98 Peduli
"Anggapan bahwa aktivitas ekstraktif mesti dilakukan terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan populasi yang terus meningkat adalah keliru. Nyatanya, rezim global yang menempatkan indikator GDP sebagai ukuran utama kesejahteraan justru memberikan justifikasi negara-negara dunia untuk terus mengeruk alam demi menggenjot konsumsi dan pertumbuhan GDP," ujar alumnus Harvard University ini.
Sementara upaya pemberdayaan terhadap kelompok rentan,menurut Direktur Eksekutif Institut Harkat Negeri (IHN) Dyah Indrapati harus terus dilakukan. Termasuk dengan melakukan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM).
“Kami menawarkan kalo kita mau menegakan keadilan sosial yang harus dilakukan adalah mengembangkan kepemimpinan dan kapasitas di setiap orang. Kalo semua orang paham haknya dan kemudian bisa mendidik dirinya untuk bisa mengartikulasikan dan menuntut haknya, dia bisa berdaya atas dirinya. Maka dia akan lebih bisa mewujudkan keadilan sosial,” tandas Dyah.