Apalagi jika KDRT kadung meluas sebagai kemelut antarkeluarga, antarkampung,.
Reza menjelaskan, mediasi punya syarat.
Misalnya, harus berdasarkan kehendak kedua pihak dan tidak bisa dipatok harus selesai dalam kurun berapa lama.
Jika mediasi gagal, bisa berlanjut ke mekanisme litigasi.
"Hilirnya memang bisa berupa pemenjaraan. Tapi saya punya catatan tentang pemenjaraan dan kasus KDRT. Ini spesifik memotret kasus KDRT pasutri selebritas. Sesama mereka juga saling lempar tudingan bahwa pasangan adalah pelaku," kata Reza.
Menurutnya faktor istri pernah bercerai, adalah berkontribusi bagi perceraian berikutnya.
Dibandingkan dengan berbagai bentuk sanksi bagi pelaku KDRT, pelaku yang dikenakan pemenjaraan dan pengenaan denda justru memiliki tingkat residivisme lebih tinggi.
Dengan demikian, berbasis riset, patut dikhawatirkan bahwa logika JPU keliru.
Keinginan JPU agar sanksi pidana bagi suami diperberat (pemenjaraan lebih lama, denda lebih tinggi) justru akan menjerumuskan suami ke dalam situasi berisiko mengulangi perbuatannya. Ironis apabila residivisme justru diakibatkan oleh salahnya lembaga penegakan hukum dalam memperlakukan pelaku.
"Jadi, jika divonis bersalah, suami sebaiknya dikenakan probation saja. Haruskan pelaku menjalani treatment secara teratur. Jika dia melanggar, barulah dipenjara," katanya.
Dia menambahkan, demi kebaikan, istri juga perlu melakukan konseling guna mengatasi berulangnya situasi kegagalan dalam berumah tangga.
"Perceraian memang getir. Tapi ketimbang bertahan dalam perkawinan yang penuh dengan huru-hara, apalagi disaksikan anak, perceraian adalah opsi yang tepat," ujarnya.
"Jadi, alih-alih melulu dipandang sebagai masalah, perceraian berpotensi sebagai jalan keluar dari masalah. Bukan hanya konseling pranikah yang dibutuhkan. Kita sudah saatnya punya konseling pracerai guna meredam risiko masalah susulan pascaperceraian," kata Reza.
Baca juga: IPW Sebut Tepat Langkah Kapolda Irjen Karyoto Tangguhkan Penahanan Wanita Tersangka KDRT di Depok
Jadi atensi Mahfud MD