Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR sedang menunggu sikap resmi pemerintah, terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sebelumnya empat kini menjadi lima tahun.
Demikian disampaikan anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/5/2023).
"Kami menunggu dulu dari pemerintah seperti apa baru kami bisa bersikap," kata Habiburokhman.
Selain itu, kata Habiburokhman, Komisi III DPR sedang mempelajari putusan MK tersebut.
Dimana yang pertama, Komisi III menyoroti kewenangan Mahkamah Konstitusi.
"Tentu MK berwenang memutus perkara uji materi. Apalagi diktum soal ini soal perpanjangan ini ada di dalam petitum pemohon, yaitu pak Nurul Ghufron," ujar Waketum Gerindra itu.
Baca juga: Firli Bahuri Cs Menanti SK Presiden Jokowi Terkait Penambahan Masa Jabatan Pimpinan KPK
Kemudian yang kedua, Komisi III mempertanyakan apakah perpanjangan lima tahun ini, berlaku juga untuk pimpinan KPK yang ada saat ini, yaitu Firli Bahuri dan kawan-kawan.
"Komisi III sedang akan membahasnya nanti dengan juga pemerintah dalam masa sidang ini dan, ya di masa sidang ini, seperti apa," ucapnya.
"Apakah pemerintah membuat keppres atau tidak, kami juga menunggu sikap resmi dari pemerintah, baru lah DPR sebagai pengawas bisa bersikap resmi," lanjutnya.
Sementara itu, menurut Habiburokhman saat ini ada dua persepsi yang berkembang di publik terkait putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK.
Satu di antaranya yakni putusan MK sudah berlaku di era pimpinan KPK saat ini Firli.
"Tapi ada pendapat dari mbak Bivitri juga yang sama sama argumentatif mengatakan tidak berlanjut, ya kan, itu," tandasnya.
Sebelumnya, MK menerima gugatan uji materi tentang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) yang diajukan oleh pemohon Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Gugatan Nurul Ghufron terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diterima MK.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan uji materiil masa jabatan pimpinan KPK tersebut dengan tiga alasan utama.
Sistem perekrutan pimpinan KPK dengan skema empat tahunan berdasar Pasal 34 UU 30/2002 telah menyebabkan dinilainya kinerja pimpinan KPK yang merupakan manifestasi dari kinerja lembaga KPK sebanyak dua kali oleh presiden maupun DPR terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK.
"Karena dengan kewenangan DPR maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 kali dalam periode atau masa jabatan kepemimpinannya, berpotensi tidak hanya mempengaruhi independensi pimpinan KPK tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri," ucap Arief Hidayat.
Dalam amar putusannya, Anwar Usman menyatakan sejumlah dalil utama terkait putusan persidangan.
"Mengadili pertama mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," tegas Anwar Usman.
Kedua disebut Anwar Usman menyatakan Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi,
"Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan".
Selain itu dalam putusannya, Anwar menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) yang semula berbunyi,
"Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan".