TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari angkat bicara terkait ancaman yang diberikan DPR RI kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan sistem Pemilu.
Feri mengatakan, DPR RI seharusnya tidak memberikan ancaman kepada MK, karena hal tersebut tidak tepat.
Menurutnya, ancaman tersebut secara politik bersifat mengintervensi putusan MK.
"Saya pikir tidak tepat juga memberikan ancaman kepada Mahkamah Konstitusi. Seharusnya DPR tidak begitu. Karena kalau sifatnya tentu saja mencoba secara politik mengintervensi putusan Mahkamah Konstitusi," kata Feri, saat dihubungi, Jumat (2/6/2023).
Baca juga: Ketua MK Tegaskan Tak Ada Kebocoran Putusan soal Polemik Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas itu menyampaikan, hal yang paling tepat diberikan DPR RI kepada MK adalah memberikan pagar-pagar, melalui Undang Undang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
"Paling tepat adalah memberikan pagar-pagar penting bagi Mahkamah Konstitusi melalui pembentukan Undang Undang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, yanf selama ini berkali-kali digagas tapi tidak pernah berhasil dibentuk DPR," ungkapnya.
Adapun ia menjelaskan, di dalam Undang Undang Hukum Acara itu ditentukan, bahwa MK tidak dapat melakukan putusan yang mengubah putusannya dengan berbagai syarat.
"Misalnya, selama tidak terjadi perubahan Undang Undang Dasar 1945, Mahkamah tidak bisa sesuka hati mengubah putusan-putusannya yang terdahulu," jelas Feri.
"Kalau ada sikap atau putusan yang mengubah putusan-putusan terdahulu tanpa memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan, pihak Mahkamah atau Hakim Konstitusi bisa dibawa ke Mahkamah Etik," sambungnya.
Baca juga: DPR Ancam Bakal Evaluasi Anggaran MK, Bila Putuskan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Menurut Feri, Undang Undang Hukum Acara tersebut sangat penting agar MK memiliki pagar-pagar dan tidak asal-asalan.
"Apalagi dilihat kapasitas hakim konstitusi sangat jauh dari standar seorang negarawan yang paham konstitusi," ungkap Feri.
"Jadi perlu sekali diberi pagar-pagar penting. Yang menurut saya, itu Undang Undang Hukum Acara bukan di Undang Undang Mahkamah Konstitusi," lanjutnya.
Sebelumnya, delapan fraksi DPR RI kembali mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tetap memutuskan sistem Pemilu proposional terbuka atau coblos calon anggota legislatif (caleg) di 2024.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman mengingatkan bahwa DPR juga memiliki kewenangan.
"Ya jadi kita tidak akan saling memamerkan kekuasaan, dan cuma kita juga akan mengingatkan bahwa kami ini legislatif juga punya kewenangan," kata Habiburokhman di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Habiburokhman berkelakar DPR akan menggunakan kewenangan budgeting untuk mengevaluasi anggaran MK jika lembaga itu memutuskan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup atau coblos partai.
"Apabila MK berkeras untuk memutus ini, kami juga akan menggunakan kewenangan kami. Begitu juga dalam konteks budgeting," ujarnya.