TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebutkan kekurangan dan kelebihan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.
Menurut Bivitri bahwa RUU Omnibus Law dibuat secara instan, hemat biaya dan memudahkan harmonisasi.
"Memang metode Omnibus ini membuat proses legislasi lebih cepat. Kalau untuk UU Cipta Kerja bayangkan mengubah 78 Undang-Undang. Jadinya karena sudah dijadikan satu di Undang-Undang Cipta Kerja hanya sembilan bulan selesai," kata Bivitri dalam diskusi daring bertajuk Kepentingan Publik yang ada di RUU Kesehatan, Kamis (8/6/2023).
Kemudian dikatakan Bivitri Undang-Undang Kesehatan nanti sembilan Undang-Undang. Entah berapa bulan atau Minggu selesai. Jadi memang instan, hemat biaya dan memudahkan harmonisasi.
Bivitri lalu menyinggung Omnibus yang terlalu memuat banyak hal sehingga luput dari dampaknya.
"Karena Omnibus terlalu memuat banyak hal. Besar potensinya bagi penyusun dan pembahas pemerintah dan DPR. Itu luput melihat dampak dan implikasi Undang-Undang dalam praktik," sambungnya.
Hal itu terlihat secara kongkrit, contohnya kata Bivitri di Undang-Undang Cipta Kerja.
"Soalnya gemuk sekali Undang-Undang tersebut. Kemudian karena memuat banyak isu. Pemangku kepentingannya itu terlalu beragam sehingga partisipasi biasanya minim. Itu yang terjadi pada Undang-Undang Cipta Kerja itu contoh buruk dari metode Omnibus ini," jelasnya.
Baca juga: Anggota DPR Ini Mengaku Heran Tembakau Disamakan dengan Narkotika di RUU Kesehatan
Menurut Bivitri jadi memang RUU Omnibus sangat tergantung politik hukumnya.
"Mari kita pertanyakan kepada semua stackholder pada diri kita sendiri. Apakah kita mau perubahan yang instan atau lebih bermakna berkelanjutan baik semua stakeholder," tutupnya.