Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasal 154 pada Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan menyetarakan produk hasil tembakau dengan narkotika dan psikotropika.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai pasal ini dapat memberikan dampak sosial.
"Ini harus ditolak. Karena akan jadi beban berat bagi kita semua," ujar Trubus dalam keterangannya, Jumat (16/6/2023).
Menanam tembakau dan mengonsumsi hasil tembakau, kata Trubus, sudah berlangsung secara turun temurun sehingga menjadi bagian dari budaya dan kebiasaan masyarakat.
Menurut Trubus, penyetaraan tembakau dengan narkotika dikhawatirkan akan menimbulkan benturan di masyarakat.
"Kalau disetarakan dengan narkotika, yang terkena langsung adalah para petani tembakau khususnya di Jateng (Jawa Tengah) dan Jatim (Jawa Timur) yang hidupnya turun temurun sejak zaman Belanda," ujar Trubus.
Dirinya menyarankan Pemerintah untuk lebih mengedepankan aspek perlindungan terhadap produk tembakau ketimbang menyetarakannya dengan narkotika.
"Jadi bisa berjalan dan berkembang. Bagaimanapun juga, perlindungan harus diutamakan. Petani dan industri di dalamnya itu sudah terjadi simbiosis mutualisme. Itu yang harus dilindungi. Dibina, bukan dibinasakan,” kata Trubus.
Baca juga: ICMI Tegas Tolak Tembakau Sejajar Narkotika dalam RUU Kesehatan
Terlebih, lanjut Trubus, produk tembakau sebagaimana sudah ditetapkan dalam peraturan-peraturan sebelumnya dan diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bukan lah produk yang dilarang.
Bertolak belakang dan jauh berbeda dengan narkotika dan psikotropika yang dilarang.
Sementara itu, anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) M. Yahya Zaini menilai produk hasil tembakau merupakan salah satu pahlawan keuangan negara.
Pada 2022 saja, Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang diterima negara mencapai lebih dari Rp200 triliun. Tepatnya Rp 218,62 triliun atau lebih dari 10 persen dari total penerimaan pajak negara.
Meski begitu, di sisi lain, pemerintah dinilainya selalu memberikan rintangan kepada Industri Hasil Tembakau (IHT) dengan secara terus menerus memperketat regulasi.
"Karena itu pemerintah selama ini selalu ambivalen (sikap bertentangan) melihat tembakau ini. Ini kan tidak bagus,” tegasnya.
Yahya menentang tegas bunyi pasal 154 RUU Kesehatan Omnibus Law bukan saja karena faktor ekonomi.
Menurutnya, keduanya memang tidak bisa disetarakan karena memiliki dampak yang jauh berbeda, dan legalitas yang bertolak belakang.
"Jangan lupa, pekerja yang terlibat dalam produk tembakau ini sekitar 2 juta orang baik langsung maupun tidak langsung. Padat karya,” katanya.
Yahya bertekad untuk memperjuangkan nasib masyarakat yang bekerja di dalam industri hasil tembakau tersebut.