Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai bahwa tudingan seorang ahli pidana terhadap MY, perempuan korban kekerasan, merupakan cerminan lekatnya budaya patriarki.
Tudingan sebagai pengganggu suami orang, disebut Komnas Perempuan seolah menutup mata terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami MY sebagai korban.
Padahal, MY telah mengalami kekerasan berulang dan berlapis oleh suaminya, Bukhori Yusuf (BY) yang merupakan mantan anggota DPR RI.
"Tudingan tesebut merupakan perwujudan dari cara pandang patriarki yang tidak melihat fakta bahwa telah terjadi KDRT berupa kekerasan seksual, kekerasan fisik dan psikis yang terjadi berulang dan berlapis. Tudingan tersebut telah merendahkan perempuan/ terlapor," kata Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, Senin (19/6/2023) malam.
Dalam konstruksi masyarakat patriarki, Ulfah menilai bahwa perempuan kerap ditempatkan sebagai subordinat.
Karena itulah, fakta kekerasan yang dialami perempuan sering dikesampingkan.
Bahkan tak jarang perempuan korban kekerasan menjadi pihak yang disalahkan dan dikriminalisasi.
Baca juga: LPSK Dinilai Belum Bisa Beri Perlindungan ke Istri Kedua Bukhori Yusuf soal Dugaan KDRT
"Sebagaimana dialami korban MY yang dilaporkan balik oleh pelaku melalui istrinya," ujar Ulfah.
Untuk diketahui, istri BY, RKD telah melaporkan MY ke Polda Metro Jaya terkait dugaan pelaporan palsu kasus KDRT.
Padahal sebagai korban, terlebih sudah berada di bawah perlindungan LPSK, MY tak semestinya dikriminalisasi.
Hal itu termaktub dalam Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berbunyi:
Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
Selain itu, Komnas Perempuan menegaskan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah tolak ukur layak atau tidaknya diterapkan pasal KDRT.
Sebab Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan pencatatan
perkawinan tidak menjadi syarat sah suatu perkawinan.
"Oleh sebab itu, nikah tidak tercatat atau nikah siri sudah sepatutnya tidak menghalangi negara dalam penegakan hukum terkait penghapusan KDRT," kata Ulfah.
Tudingan Terhadap Korban
Sebelumnya, Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir menuding korban kekerasan, MY sebagai perempuan pengganggu.
Tudingan itu seiring dengan pendapatnya yang menyatakan bahwa MY semestinya turut diperiksa dalam perkara dugaan laporan palsu yang didaftarkan RKD di Polda Metro Jaya.
"Untuk memberi keseimbangan itu sebaikanya ya polisi memeriksa juga laporan dari istrinya yang sah untuk yang perempuan itu (MY) bisa diperiksa sebagai terlapor. Di situlah penyidik dapat memastikan yang menjadi pelaku yang sesungguhnya itu siapa? Apakah itu suaminya atau dia perempuan yang mengganggu suaminya," kata Mudzakkir pada Jumat (16/6/2023).
Selain itu, Mudzakkir juga menganggap bahwa pelaporan MY sejatinya tak masuk ke dalam unsur pidana KDRT.
Sebab menurutnya, pernikahan MY dan BY tidak tercatat secara sah dalam dokumen negara.
"KDRT itu harus yang berdasarkan dokumen hukum negara dan dokumen negara itu sebagai bagian daripada dasar perlindungan hukum terhadap rumah tangga dalam UU KDRT," katanya.
*Perjalanan Kasus KDRT oleh Mantan Anggota DPR, Bukhori Yusuf*
Selama berumah tangga, Bukhori Yusuf (BY) diduga kerap melakukan kekerasan seksual dan fisik terhadap MY.
Kekerasan seksual dilakukan BY dengan memaksa MY untuk melakukan hubungan intim yang tak wajar.
"Hal tersebut membuat pelapor (MY) mengalami kesakitan dan pendarahan," sebagaimana tertera dalam surat rekomendasi Komnas Perempuan terhadap Polri.
Sementara dalam hal kekerasan fisik, MY pernah ditampar, ditonjok, digigit, dicekik, hingga dijambak oleh BY.
Puncak kekerasan terjadi pada 20 Juli 2022 di sebuah hotel daerah Cawang, Jakarta Timur.
MY yang dalam kondisi hamil, saat itu mendapat kekerasan fisik dari BY.
"Pelapor (MY) ditonjok, ditampar, digigit, dicekik hingga menyebabkan pelapor mengalami luka di leher dan lebam di tangan kanan," masih dikutip dari surat yang sama.
Selain kekerasan fisik, MY yang sedang hamil juga memperoleh kekerasan seksual pada saat yang sama.
Kekerasan seksual itu kemudian menyebabkannya keguguran.
"Pelapor (MY) mengalami lecet di kaki kanan akibat benturan ujung keramik bathub saat ia dipaksa berhubungan seksual di bathub. Dari kekerasan tesebut, pelapor mengalami keguguran."
Atas kekerasan yang dialaminya selama berumah tangga dengan BY, MY telah melapor ke Polrestabes Kota Bandung pada 8 November.
Laporan itu teregister dengan nomor LP/B/1672/XI/2022/SPKT/POLRESTABESBANDUNG/POLDAJAWABARAT.
Sayangnya, Polrestabes Kota Bandung hanya mengkategorikan kekerasan yang diterima MY sebagai tindak pidana penganiayaan ringan.
Kemudian pada akhir Mei 2023, perkara tersebut dilimpahkan ke Bareskrim Polri.
"Jadi tadi sudah dicek di Bareskrim ternyata betul itu berkas perkaranya yang Pak Bukhori itu sudah dilimpahkan kemarin sore. Dilimpahkan kemarin sore ke Unit PPA di Bareskrim," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan pada Selasa (23/5/2023).
Gelar perkara awal pun telah dilakukan. Namun Polri masih belum menemukan tindak pidana dari pelaporan MY tersebut.
Oleh sebab itu, Polri masih perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut.
"Untuk penanganan kasus KDRT yang diduga dilakukan oknum anggota DPR inisial BY telah dilaksanakan gelar awal dan hasilnya dilakukan penyelidikan lanjutan," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Nurul Azizah pada Sabtu (27/5/2023).