TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat militer dan Pertahanan Susaningtyas NH Kertopati mengatakan deployment atau pengiriman pasukan terlatih Kostrad ke Papua merupakan langkah yang tepat.
Seperti diketahui, TNI mengirimkan Satgas Pamtas Mobile Batalyon Infanteri (Yonif) 411 Mekanis Raider Pandawa Kostrad ke Papua.
Adapun pengerahan pasukan terlatih ini untuk menjaga stabilitas keamanan di daerah tersebut.
"Prajurit yang akan dikirim diberi pengetahuan bukan saja hal terkait strategi militer tetapi juga diberi pemahaman sedikit terkait dinamika geopolitik dan geoekonomi Papua, sehingga prajurit memahami juga adat budaya, situasi kondisi berikut komunikasi setempat," tutur Susaningtyas melalui pesan singkatnya, Selasa (20/6/2023).
Menurutnya, pengiriman prajurit Kostrad ke Papua karena memang tugas utamanya menangani Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang bersifat tempur dalam bentuk operasi mengatasi gerakan separatis bersenjata, operasi mengatasi pemberontakan bersenjata.
Termasuk operasi mengatasi aksi terorisme, operasi mengamankan wilayah perbatasan, operasi mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis.
"Harus pahami dahulu awal mula konflik Papua. Konflik politik mengenai Irian Jaya antara kita dengan Belanda sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka 1945 yang tidak selesai dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 dan pada 1960-1963 dilanjutkan melalui perundingan Middleburg serta perjanjian New York yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS)," imbuhnya.
Wanita yang akrab disapa Nuning ini menyebut kepentingan Amerika Serikat di era perang dingin tersebut adalah membendung komunisme di Asia dan menjauhkan hubungan Indonesia dengan Uni Soviet.
Akhirnya melalui Referendum Act of Free Choice atau Pepera pada 1969 oleh PBB yang didominasi oleh AS, Irian Jaya diakui dunia masuk dalam wilayah Republik Indonesia.
"Kepentingan AS pada waktu itu adalah mendirikan perusahaan tambang tembaga di Ertsberg pada 1970, namun Pemerintah RI tidak memberi syarat kepada AS untuk ikut memerangi ide separatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah berdiri sejak 1963 atas dukungan Belanda," ucapnya.
Selanjutnya Belanda mendorong terlaksananya proklamasi negara Papua pada 1 Juli 1971, tanpa adanya gugatan politik yang signifikan dari Pemerintah RI.
"Ada hal yang penting juga yaitu mengubah sebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi Kelompok Separatis Teroris (KST). Istilah KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) jangan dipakai lagi karena sudah tidak cocok dengan perkembangan yang ada di mana sudah mengancam kedaulatan negara khususnya wilayah Papua. Sebaiknya pakai saja KST (Kelompok Separatis Teroris) atau Pemberontak Bersenjata," katanya.
Ia menambahkan, selama masih disebut kriminal maka hanya sebatas kejahatan publik, ini tentu rezim persenjataannya juga bukan seperti untuk menghadapi kaum separatis.
Baca juga: EKSKLUSIF Cerita Ronal Siahaan, Prajurit Kostrad yang Akan Berlaga di Road to UFC Season 2
Berikutnya terkait dengan jenis senjata dan bom yang digunakan oleh teroris masih tergolong konvensional, maka masuk kewenangan Polri. Tetapi jika senjata dan bom yang digunakan oleh teroris tergolong senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction) seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI.
Mantan anggota Komisi l DPR ini menyebut perlunya penyisiran secara terus menerus, untuk membersihkan senjata-senjata yang beredar di masyarakat di daerah berpotensi serangan mendadak KST.
"Hal yang menurut saya juga penting bila memberangkatkan pasukan ke Papua hendaknya jangan diumumkan baik melalui media massa ataupun lisan. Dari sisi intelijen hal ini bisa membahayakan prajurit yang bertugas karena pihak KST yang lebih paham wilayah tempur tentu lebih siap menghadang operasi prajurit di sana," ucapnya.