Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menyoroti pasal-pasal tembakau pada dalam RUU Kesehatan yang menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika serta minuman beralkohol.
Menurut Firman, narkotika dilarang hukum sehingga ilegal, berbeda dengan tembakau yang legal.
”Semua produk yang resmi, ada izin dan sebagainya itu adalah hak asasi manusia. Jadi, tidak ada satupun yang dilanggar oleh industri tembakau apalagi petani tembakau,” ujar Firman dalam keterangannya, Sabtu (24/6/2023).
Mahkamah Konstitusi (MK) saja, kata Firman, sudah membuat kebijakan dengan mengambil keputusan bahwa tanaman tembakau itu adalah tanaman yang legal.
Bahkan, menurut Firman, ketika ada anggota masyarakat yang menggugat agar tidak boleh memasang iklan produk tembakau, gugatan itu ditolak MK karena bertentangan dengan HAM.
”Yang jelas, ini tidak lazim dan tidak sesuai dengan spirit UU karena UU-nya tidak membahas soal komoditi yang berdampak pada Kesehatan," tutur Firman.
"Kalau kita membahas komoditi yang berdampak pada kesehatan jangan hanya tembakau saja. Gula juga kita harus bahas, kemudian bensin, karena bensin itu penyebab daripada asap yang merusak paru-paru masyarakat. Kenapa hanya tembakau yang disasar? Kenapa begitu?" tambah Firman.
Baca juga: Serikat Pekerja Rokok Minta Aturan Soal Tembakau Dikeluarkan dari RUU Kesehatan
Firman yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR menjelaskan lahirnya RUU Kesehatan merupakan inisiasi Baleg DPR.
Tujuannya ingin menyempurnakan tata kelola pelayanan kesehatan yang sekarang ini dianggap masih kurang baik, padahal pelayanan kesehatan merupakan hak masyarakat sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.
Prinsip dasar itu kemudian disampaikan kepada pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk bisa disusun bersama.
"Sekarang, pelayanan kesehatan kita ini masih jauh dari apa yang diharapkan. Jumlah dokter yang tersedia masih jauh daripada mencukupi. Kemudian juga untuk pengadaan kebutuhan dokter spesialis saja itu masih jauh daripada yang kita harapkan. BPJS juga. Perlu penataan ulang," pungkas Firman.