Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang praperadilan penetapan tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU) korupsi BTS Kominfo akan kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (17/7/2023) besok.
Praperadilan yang dimohonkan kuasa hukum Windi Purana, tersangka TPPU idalam kasus BTS Kominfo tersebut akan beragendakan pemanggilan kedua pihak termohon, yakni Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung.
"Senin, 17 Juli 2023. 10:00:00 sampai Selesai. Panggil kembali Termohon. Ruang Sidang 06," sebagaimana dikutip dari SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Minggu (16/7/2023).
Sidang perdana praperadilan ini semestinya dilaksanakan, Senin (10/7/2023).
Namun, pihak Kejaksaan Agung tak menghadiri persidangan.
Baca juga: PPATK Blokir Banyak Rekening Sejak Awal Kasus Korupsi BTS Kominfo Bergulir
"Termohon tidak hadir ke persidangan."
Dalam praperadian yang diajukan, pihak Windi mengaku belum menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
"Kita belum terima SPDP dan Sprindik," ujar Rizky Khairullah, penasihat hukum Windi Purnama, Senin (10/7/2023).
Tim penasihat hukum pun mengaku mengatahui status kliennya menjadi tersangka hanya dari surat penangkapan dan penahanan.
Baca juga: Kejaksaan Agung Sebut Menpora Tak Terkait Pengembalian Rp 27 Miliar Kasus BTS Kominfo
"Di surat penangkapan dan penahanan ada statusnya sebagai tersangka," ujarnya.
Selain itu, tim penasihat hukum juga mempermasalahkan mengenai alat bukti yang dijadikan dasar penetapan Windi Purnama sebagai tersangka.
Namun terkait alat bukti, masih enggan dirincikan lebih lanjut.
"Kalau kita, alasan untuk mengajukan praperadilan pada prinsipnya mengenai proseduralnya dan alat bukti. Apakah alat bukti yang diajukan oleh pihak Kejaksaan Agung telah sesuai dengan KUHAP," katanya.
Atas dugaan-dugaan itu, tim penasihat hukum Windi Purnama dalam petitumnya memohon agar Hakim Tunggal yang ditugaskan dalam perkara ini menyatakan bahwa penyidikan dan penetapan Windi Purnama sebagai tersangka TPPU pada perkara korupsi pengadaan tower BTS tidak sah.
"Pemohon memohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi: Menyatakan menurut hukum tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum," sebagaimana tertera dalam petitum permohonan Windi Purnama.
Penetapan Windi Purnama sebagai tersangka TPPU pada korupsi pembangunan tower BTS Kominfo sendiri telah dilakukan Kejaksaan Agung pada Selasa (23/5/2023).
Dalam keterangannya, Kejaksaan Agung tak mengungkapkan jabatan Windi secara rinci, sebagaimana tersangka-tersangka lainnya.
Namun Windi disebut-sebut merupakan pihak swasta yang memiliki kedekatan dengan tersangka yang sudah ditetapkan sebelumnya, yaitu Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan.
"Peran tersangka WP yaitu sebagai orang kepercayaan tersangka IH," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (23/5/2023).
Saking dekatnya, dia sampai dipercaya untuk menjadi penghubung antara Irwan dengan seorang pejabat negara dalam lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Namun Kejaksaan Agung masih enggan membeberkan pejabat Kominfo yang dimaksud.
"Dia menghubungkan antara swasta dengan pejabat Kominfo," ujar Ketut saat dikonfirmasi pada Selasa (23/5/2023).
Peran Windi Purnama dalam perkara ini juga sempat dibeberkan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) sebagai kurir atau pengantar saweran.
Jumlah saweran yang diantar Windi tak main-main, yakni mencapai puluhan miliar rupiah.
"Setahuku WP. Enggak tahu teknisnya siapa yang nerima," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman saat dihubungi pada Jumat (16/6/2023).
Namun pihak-pihak penerima saweran tak disebutkan secara gamblang.
Boyamin hanya membeberkan kisi-kisi lokasi para penerima saweran dalam perkara korupsi BTS ini.
"Gedung utaranya Kejaksaan Agung diduga 70 miliar dan yang gedung utara agak kanan 50 miliar," ujarnya.
Sebagian uang itu diduga diserahkan kepada pihak gedung utara Kejaksaan Agung melalui sosok perantara di Depok.
Kemudian sebagian saweran ke pihak gedung utara agak kanan Kejaksaan Agung, diserahkan di Surabaya.