Majelis hakim menyatakan, Syafruddin terbukti terlibat dalam menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Namun, majelis hakim menilai tidak ada tindak pidana yang dilakukan Syafruddin dalam menerbitkan SKL BLBI.
"Menyatakan Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah di Gedung MA, Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Putusan tersebut membatalkan vonis 15 tahun penjara yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Putusan PT DKI ini memperberat hukuman Syafruddin dari vonis 13 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengaku terkejut atas dikabulkannya kasasi Syafruddin oleh MA.
"Pertama, KPK menghormati putusan MA. Namun demikian, KPK merasa kaget karena putusan ini aneh bin ajaib karena bertentangan dengan putusan hakim pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi," kata Laode dalam keterangan tertulis, Selasa (9/7/2019).
4. Sofyan Basir, Kasus Dugaan Suap Proyek PLTU Riau-1
Mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir akhirnya bebas dari tahanan, Senin (4/11/2019) sekitar pukul 17.54 WIB.
Sofyan Basir dinyatakan bebas oleh Majelis Hakim yang diketuai Hariono dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena tidak terbukti bersalah.
Sebelumnya, dalam kasus dugaan suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 itu, jaksa KPK menuntutnya dengan hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.
"Menyatakan Saudara Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan. Membebaskan Sofyan Basir dari segala dakwaan," ujar Ketua Majelis Hakim Hariono.
Majelis hakim berpendapat Sofyan tidak terbukti memenuhi unsur perbantuan memberi kesempatan, sarana dan keterangan kepada Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dalam mendapatkan keinginan mereka mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Riau 1.
Jaksa penuntut umum KPK menyatakan mengambil pilihan berpikir selama tujuh hari.
Mereka juga meminta salinan petikan putusan tersebut agar bisa segera membebaskan Sofyan dari tahanan.
Pada surat dakwaan, JPU pada KPK menyebut Sofyan Basir mengatur pertemuan untuk membahas permufakatan jahat suap kontrak kerja sama proyek PLTU Riau-1.
Sofyan Basir mengatur pertemuan antara Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Johannes Budisutrisno Kotjo dengan direksi PT PLN.
Sofyan memfasilitasi pertemuan untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independen Power Producer (IIP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dengan BNR dan China Huadian Engineering Company Limited.
JPU pada KPK menyebut Sofyan mengetahui Eni dan Idrus akan mendapatkan sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo yang seluruhnya bernilai Rp 4,75 miliar.
Atas perbuatan itu, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir.
Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi Ronald Worotikan mengaku kaget terhadap putusan majelis hakim tindak pidana korupsi.
Ronald membantah putusan tersebut keluar karena dakwaan JPU pada KPK yang lemah.
Menurut Ronald dakwaan tersebut telah dibuat sesuai dengan proses penyidikan yang dijalankan.
"Secara psikologis kami memang sedikit kaget terhadap putusan itu, tapi tentu sebagai penuntut umum kami menghormati putusan hakim," kata Ronald.
5. Bupati Mimika Nonaktif Eltinus Omaleng
Eltinus Omaleng yang menjadi terdakwa kasus korupsi pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua ini divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar, Senin (17/7/2023) sore.
Kasus yang menjerat Eltinus Omaleng berawal sekira tahun 2013, Eltinus yang berprofesi sebagai kontraktor sekaligus komisaris PT Nemang Kawi Jaya, berkeinginan membangun tempat ibadah Gereja Kingmi di Kabupaten Mimika dengan nilai Rp 126 miliar.
Di tahun 2014, Eltinus terpilih menjadi Bupati Kabupaten Mimika periode 2014-2019.
Ia kemudian mengeluarkan kebijakan, salah satunya untuk menganggarkan dana hibah pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 ke Yayasan Waartsing.
Kemudian Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Mimika sebagaimana perintah Eltinus, memasukkan anggaran hibah dan pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 sebesar Rp 65 miliar ke anggaran daerah Pemkab Mimika tahun 2014.
"EO yang masih menjadi komisaris PT NKJ (Nemang Kawi Jaya) kemudian membangun dan menyiapkan alat produksi beton yang berada tepat di depan lokasi akan dibangunnya Gereja Kingmi Mile 32," tutur Firli.
Berlanjut di tahun 2015, untuk mempercepat proses pembangunan, Eltinus kemudian menawarkan proyek ini ke Teguh Anggara dengan adanya kesepakatan pembagian fee 10 persen dari nilai proyek, dimana Eltinus mendapat 7 persen dan Teguh 3 persen.
Selain itu, agar proses lelang dapat dikondisikan, Eltinus sengaja mengangkat Marthen Sawy sebagai PPP.
Padahal Marthen tidak mempunyai kompetensi di bidang konstruksi bangunan.
"EO juga memerintahkan MS (Marthen Sawy) untuk memenangkan TA (Teguh Anggara) sebagai pemenang proyek walaupun kegiatan lelang belum diumumkan," ucap Ketua KPK Firli Bahuri.
Setelah proses lelang dikondisikan, Firli mengatakan, Marthen dan Teguh melaksanakan penandatangan kontrak pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 dengan nilai kontrak Rp 46 miliar.
Untuk pelaksanaan pekerjaan, Teguh kemudian men-subkontrakkan seluruh pekerjaan pembangunan gedung Kingmi Mile 32 ke beberapa perusahaan berbeda, salah satunya PT Kuala Persada Papua Nusantara tanpa adanya perjanjian kontrak dengan pihak Pemkab Mimika.
Namun hal ini diketahui Eltinus.
"PT KPPN (Kuala Persada Papua Nusantara) kemudian menggunakan dan menyewa peralatan PT NKJ dimana EO masih tetap menjabat sebagai Komisarisnya," ungkap Firli.
Dalam perjalanannya, progres pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 tidak sesuai dengan jangka waktu penyelesaian sebagaimana kontrak, termasuk adanya kurang volume pekerjaan, padahal pembayaran pekerjaan telah dilakukan.
Firli mengatakan, seluruh perbuatan para tersangka bertentangan dengan ketentuan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Akibat perbuatan para tersangka, mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara setidaknya sejumlah sekira Rp 21,6 miliar dari nilai kontrak Rp 46 miliar.
"Dari proyek ini, EO diduga turut menerima uang sejumlah sekitar Rp 4,4 miliar," kata Firli.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Sumber: (Tribun Sulbar) (Kompas.com) (riau.bpk.go.id) (TribunJabar) (Tribun Papua)