TRIBUNNEWS.COM - Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menduga aktivitas tak wajar yang dilakukan pelaku dan korban dalam kasus mutilasi di Sleman adalah perilaku seksual menyimpang dengan kekerasan.
Awalnya, Reza mengatakan terkait aktivitas tak wajar yang dilakukan pelaku berinisial W dan RD bersama korban RTA pantas untuk menjadi pertanyaan publik lantaran kepolisian belum menjelaskan secara gamblang.
"Apakah 'aktivitas tak wajar yang polisi katakan adalah aktivitas seksual menyimpang? Jika ya, penyimpangannya seperti apa?"
"Pertanyaan-pertanyaan tersebut relevan karena perilaku seksual tertentu, semisal BDSM (Bondage, Dominance, Submission, Sadism, and Masochism) oleh orang-orang yang berorientasi seksual menyimpang memang bisa-bisa berakibat fatal terhadap pelakunya."
"Tapi penting diingat, dalam relasi seksual wajar, pasutri pun bisa juga menggunakan teknik-eknik stimulasi eksperimen yang berisiko cedera bahkan kematian," katanya saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (19/7/2023).
Kemudian, Reza pun menjelaskan bahwa pokok persoalannya adalah ketika para pelaku aktivitas seksual menyimpang saling setuju untuk melakukannya.
Baca juga: Teka-teki Grup FB Tak Wajar Pemicu Kasus Mutilasi di Sleman, Korban Sempat Ganti Foto FB Awal Juli
Selanjutnya, dia menjelaskan bahwa perilaku seksual apapun seperti menyimpang atau dilakukan di luar pernikahan tidak dapat dipidana.
"Sayang beribu sayang, hingga kini perilaku seksual sedemikian rupa di Indonesia tidak diposisikan sebagai perbuatan pidana. Memang absurd; dilakukan di luar pernikahan, oleh pasangan sesama jenis kelamin, terpaksa hanya bisa kita hadapi sambil mengelus dada dan berdoa kepada Tuhan agar kita dijauhkan dari kezaliman serupa," paparnya.
Kendati demikian, Reza mengatakan jika perilaku seksual menyimpang tersebut disertai variasi-variasi kekerasan, maka unsur pidana dapat dijatuhkan kepada para pelakunya.
"Menurut saya, consensual membuat aktivitas seksual mereka bukan persoalan pidana. Tapi perilaku yang membahayakan orang lain secara sadar sengaja dilakukan pelaku, betapapun consensual adalah pidana. Kita tidak boleh setuju (consent) terhadap sesuatu yang ilegal," jelasnya.
Reza pun mencontohkan beberapa kekerasan dalam aktivitas seksual, seperti cekikan, pukulan, hingga penyetruman.
Hal tersebut, sambungnya, dapat membahayakan jiwa para pelakunya.
"Fokus pada perilaku-perilaku yang menyertai persetubuhan tersebut. Semua perilaku tersebut adalah ilegal. Jadi, betapapun persetubuhannya bukan perbuatan ilegal, namun variasi-variasi kekerasannya ilegal. Di situlah pidananya mengena," jelasnya.
Reza mengatakan, bahwa ketentuan di atas telah berlaku di antaranya di negara bagian AS yaitu Texas.
Baca juga: Motif dan Kronologi Mutilasi di Sleman, Ketiganya Saling Kenal, Tergabung di Grup Tak Wajar
Ia menambahkan, hal tersebut pun juga selaras dalam hukum di Indonesia.
"Ketentuan di atas berlaku dalam hukum di antara lain, Texas. Dan saya sepakat dengan itu."
"Tafsiran atas hukum di Indonesia, menurut saya, selaras dengan hukum di Texas tersebut. Atas dasar itulah, para pelaku BDSM, ketika ada pelaku yang tewas, pelaku lainnya dapat dipidana," bebernya.
Di sisi lain, dalam konteks kasus mutilasi di Sleman, Reza menegaskan jika memang benar aktivitas tidak wajar adalah perilaku tindakan seksual menyimpang dan di antara W, RD, dan RTA telah menyetujuinya, maka bukan perbuatan pidana.
"Kalau disepakati bahwa penentu legal atau ilegalnya adalah semata-mata pada persetujuan (consensus), maka aktivitas seksual yang tidak wajar --sepanjang consensual atau ada persetujuan-- dan berakibat kematian bukan perbuatan pidana."
"Dengan konstruksi sedemikian rupa, perbuatan pelaku tidak dapat dikategori sebagai pidana, betapa pun ada di antara pelaku yang tewas. Bahwa jasadnya dibuang, dimutilasi, maka itu 'sebatas' pencurian mayat dan penyembunyian kematian," katanya.
Lebih lanjut, Reza pun menginginkan agar persetubuhan di luar pernikahan dapat dipidana.
Hal tersebut lantaran telah sesuai dengan definisi hukum yang berkembang di masyarakat.
"Saya sebetulnya ingin persetubuhan di luar pernikahan bisa dipidana karena sesuai dengan definisi hukum yang berkembang di masyarakat. Bahwa perbuatan sedemikian rupa adalah perzinaan."
"Jadi betapa pentingnya kitab hukum mengadopsi definisi perzinaan yang hidup di masyarakat," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Mutilasi di Sleman