TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah bersama Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) baru saja menggelar kegiatan bertajuk Festival Budaya Spiritual yang digelar dari tanggal 17-19 Juli 2023.
Kegiatan yang juga bersamaan dengan perayaan 1 Suro Tahun Saka ini sengaja digelar sebagai bentuk perhatian Pemerintah akan adanya kepercayaan para penghayat, di luar kepercayaan Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha di Indonesia.
Para penghayat kini sudah bisa menghela napas panjang sebagai bentuk kelegaan bahwa keyakinannya sudah diakui negara.
Mereka diberikan tempat untuk bisa mencantumkan identitas keagamaannya sediri dengan penyebutan agama Kepercayaan Pada Tuhan YME.
Melalui kegiatan ini, Pemerintah ingin menjadikan momen perayaan 1 Sura ini sebagai awal untuk masyarakat terbuka akan kehadiran para penghayat.
Baca juga: Dalang Cilik Ngawi Bawakan Lakon Babat Alas Wanamarta di TMII saat Malam Satu Suro
Sebagaimana diketahui, mengacu Pasal 28E ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa setiap masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih kepercayaan, dijadikan sebagai dasar Pemerintah untuk melegalkan status keagamaan para penghayat.
Pemerintah sebenarnya sudah menggagas ini sejak lama, bahkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Lembaga Adat.
Termasuk juga Permendikbud Nomor 10 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelestarian Tradisi, juga Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan.
Bahkan dalam bidang administrasi kependudukan, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Hingga pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) membentuk norma baru melalui Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 dan memperbolehkan Penghayat Kepercayaan mencantumkan kepercayaan yang dianutnya dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Namun, realitasnya dilapangan, para Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih belum memperoleh hak dan perlakuan yang sama sebagaimana warga negara lainnya.
Baik itu di bidang pendidikan, peribadatan, pelayanan hak sipil atau administrasi kependudukan secara merata.
Untuk pemecahan permasalahan ini tentu membutuhkan kerja sama berbagai pihak, baik Penghayat Kepercayaan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Oleh karena itu, pentingnya acara ini sebagai momen bagi para penghayat dan pemerintah untuk duduk bersama membahas masalah sebagai penyempurnaan dalam upaya yang telah dijalankan ini.
Baca juga: Malam 1 Suro: Anies Nonton Wayang Kulit di Parangkusumo, Ganjar Ikut Kirab Jalani Laku Bisu