TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Hakim Mahkamah Agung (MA) terkait keringanan hukuman untuk mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Ferdy Sambo ternyata tidak bulat.
Dua hakim menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda terkait perubahan hukuman Ferdy Sambo dari hukuman mati menjadi penjara seumur hidup.
Mereka kalah suara dengan tiga hakim MA lainnya.
Dua hakim yang menolak keringanan hukuman Ferdy Sambo adalah Jupriyadi dan Desnayeti.
Berikut sosok Jupriadi SH MH.
Jupriadi bisa dibilang hakim senior yang mengawali karir hakim dari bawah.
Saat menjadi bintang tamu Podcast Bincang-Bincang bersama Bapak Jupriyadi, S.H.,M.Hum (Hakim Agung) yang dilakukan Pengadilan Tinggi Bengkulu, hakim agung kamar pidana ini menceritakan karir di bidang kehakiman.
Baca juga: Hukuman Ferdy Sambo Jadi Pidana Seumur Hidup, LPSK: Putusan Pengadilan Sulit Puaskan Semua Orang
"Saya mengawali menjadi hakim 4 kali yakni di PN Muara Teweh Kalteng, PN Nagara Bali, PN Sleman DI Yogyakarta dan di PN Jakarta Pusat.
Ia lantas mendapatkan kepercayaan menjabat sebagai Wakil Ketua PN sebanyak empat kali.
"Saya jadi wakil PN di Muara Bulian Provinsi Jambi, PN Limbuto Provinsi Gorontalo, PN Balikpapan Kaltim, Wakil PN Jakarta Utara dan menjabat sebagai Ketua PN 4 x di Muara Bulian Provinsi Jambi, PN Limboto Gorontalo, PN Tanjung Pinang Kepri dan PN Bandung," katanya.
Diketahui saat berdinas di PN Jakarta Utara Lulusan magister Hukum Tata Negara UGM itu pernah menjadi anggota majelis dalam perkara yang menjerat mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Jupriyadi dilantik sebagai hakim agung pada Oktober 2021 oleh Ketua MA M. Syarifuddin sebagai Hakim Agung Kamar Pidana.
Sebelum menjadi hakim agung pada Agustus 2021, Hakim kelahiran 6 Juni 1962 itu menjabat sebagai Hakim Tinggi Pengawas pada Badan Pengawasan Mahkamah Agung.
Dalam beberapa kesempatan Jupriyadi mengemukakan berbagai pandangannya seperti soal putusan di negara-negara yang menerapkan sistem hukum common law atapun pandangan soal hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Saat wawancara terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Selasa (3/8/2021) Jupriyadi menjelaskan pandangannya terkait dengan disparitas putusan di negara-negara yang menerapkan sistem hukum common law (anglo-saxon).
Jupriyadi mengatakan di negara-negara yang menganut sistem hukum common law, putusan-putusan hakim terdahulu mengikat terhadap hakim atau perkara yang dipersidangkan berikutnya," katanya.
Sedangkan di Indonesia tidak berlaku asas preseden atau asas bahwa seorang hakim dalam memutus perkara tidak boleh menyimpang dari hakim yang lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi.
Baca juga: Profil Suhadi, Hakim Agung yang Ketuk Putusan Ferdy Sambo Bebas Dari Jerat Hukuman Mati
Selain itu di negara-negara common law eksaminasi putusan sudah merupakan kebiasaan dan dilembagakan, namun di Indonesia belum sepenuhnya.
Dalam realitanya, lanjut dia, akhir-akhir ini yang namanya eksaminsasi oleh pihak ketiga mungkin dari pihak perguruan tinggi dan lain sebagainya sudah sering dilaksanakan.
"Namun demikian dalam praktik itu tidak mengikat kepada hakim-hakim kita," kata dia.
Jupriyadi pun menjawab terkait kendala yang dihadapi oleh hakim-hakim di Indonesia tidak mempedomani putusan pengadilan di tingkat sebelumnya sehingga kepercayaan publik tidak berkurang.
Ini terjadi karena dari awal sistem hukum di Indonesia memang tidak didesain seperti itu dan memang kita kenal adanya yurisprudensi sebagai sumber hukum, tetapi itu tidak mengikat para hakim.
Kendala kedua, karena setiap kasus tidak pernah ada yang sama persis juga problem tersebut juga berkaitan dengan kebebasan dan kemandirian hakim yang sangat menentukan.
Pandangannya Soal Pendapat Hukum Tajam di Bawah Tumpul Diatas
Terkait soal pandangan orang hukum tumpul di atas tajam di bawah, ia memandang semua orang dilarang ngomong seperti itu.
"Bagi saya pribadi yang telah 30 tahun (jadi hakim.red), yang penting memutus sesuai dengan ketentuan yang ada dan fakta yang ada di persidangan.
Kalau ada yang dirasakan kurang adil ya itulah keterbatasan manusia," katanya.
Apalagi pengadila di kota besar, banyak perkara namun hakim sedikit.
"Mungkin akan ada kekeliruan sehingga dirasakan masyarakat kurang adil dan tumpul ke atas dan tajam di bawah mungkin saja bisa terjadi,
Tapi berdasarkan pengalaman selama putusannya sesuai dengan aturan yang berlaku dan fakta di persidangan insya Allah biasa saja dan tidak apa-apa," katanya.