TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset-Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim tidak menjadikan skripsi sebagai sebagai satu-satunya syarat kelulusan bagi mahasiswa perguruan tinggi.
Aturan baru tersebut diterbitkan seiring peluncuran Merdeka Belajar Episode Ke-26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi yang mengacu pada Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
"Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam. Bisa bentuk prototipe dan proyek. Bisa bentuk lainnya. Tidak hanya skripsi atau disertasi. Bukan berarti tidak bisa tesis atau disertasi tetapi keputusan ini ada di masing-masing perguruan tinggi," ujar Nadiem dalam peluncuran Merdeka Belajar Episode Ke-26, Selasa (29/6/2023).
Seperti diketahui selama ini setiap mahasiswa S1 harus membuat skripsi agar lulus jadi sarjana, demikian pula bagi mahasiswa S2 (magister) wajib membuat tesis dan mahasiswa S3 (doktor) wajib membuat disertasi.
Nadiem mengatakan setiap kepala prodi punya kemerdekaan sendiri dalam menentukan standar capaian kelulusan mahasiswa mereka.
Sehingga standar capaian lulusan ini tidak dijabarkan secara rinci lagi di Standar Nasional Pendidikan tinggi.
"Perguruan tinggi dapat merumuskan kompetensi sikap dan keterampilan secara terintegrasi," tutur Nadiem.
Baca juga: Nadiem Makarim Tak Wajibkan Skripsi Sebagai Syarat Kelulusan Mahasiswa
Apa penggantinya?
Pasca regulasi ini diterbitkan, tugas akhir mahasiswa bisa dalam beberapa bentuk skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya baik secara individu maupun berkelompok.
Adapun jika program studi sarjana atau sarjana terapan sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk lain yang sejenis, maka tugas akhirnya dapat dihapus atau tidak lagi bersifat wajib.
Sementara itu, mahasiswa program magister atau magister terapan dan doktor atau doktor terapan wajib diberikan tugas akhir namun tidak perlu diterbitkan di jurnal.
Aturan ini membuka berbagai opsi bagi perguruan tinggi untuk menentukan penilaian terhadap mahasiswa.
Selain beban dari segi waktu, sebetulnya hal ini menghambat mahasiswa dan perguruan tinggi bisa bergerak luas merancang proses dan bentuk pembelajaran sesuai kebutuhan keilmuan dan perkembangan teknologi.
"Padahal perguruan tinggi perlu menyesuaikan bentuk pembelajaran agar lebih relevan dengan dunia nyata. Karena itu perguruan tinggi perlu ruang lebih luas untuk mengakui dan menilai hasil pembelajaran di luar kelas," kata Nadiem.
Nadiem mengatakan tidak semua prodi atau jurusan bisa mengukur kompetensi mahasiswanya hanya dari skripsi saja.
Misalnya, prodi vokasi akan lebih cocok dengan tugas akhir seperti proyek atau profile dan bentuk lainnya.
"Misalnya seperti prodi dalam vokasi, apakah jika mahasiswanya menulis karya ilmiah yang terpublis secara scientific adalah cara tepat padahal kompetensi dia technical skill," tambah Nadiem.
Pun sama halnya bagi perguruan tinggi atau prodi akademik, tak semua mahasiswa bisa diukur dengan cara yang sama.
Ia mengatakan untuk keputusan bebas skripsi, tesis atau disertasi diambil oleh masing-masing Kepala Program Studi atau Kaprodi. Bukan lagi diambil oleh Kemendikbud Ristek.
"Kaprodi bisa menentukan apakah tugas akhir skripsi atau bentuk lain sudah cocok untuk mahasiswa atau bagaimana, mereka yang menentukan," kata dia.
Meski di satu sisi bila ada prodi yang memang mengukur kompetensi mahasiswanya melalui skripsi, maka hal itu bisa dilakukan sesuai kebutuhan kompetensi yang ada.
Skripsi bisa dihapus
Namun untuk program studi S1 atau sarjana terapan yang sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk lainnya yang sejenis, maka tugas akhir dapat dihapus atau tidak lagi bersifat wajib.
Jika pada saat proses akreditasi prodi kemudian masalah skripsi ini menjadi perhatian oleh Badan Akreditasi, kampus boleh membawa argumennya sendiri apabila waktu kuliah mahasiswa selama 3,5 tahun sudah sangat tepat untuk menggantikan skripsi.
"Saat proses akreditasi perguruan tinggi bisa berargumen apabila kompetensi anak-anak selama 3,5 tahun itu sudah sama dengan skripsi dan itu bisa dibuktikan selama mereka kuliah di tahun-tahun tersebut," tambahnya.
Ia mencontohkan program Kampus Merdeka dan Kedaireka yang diluncurkan pada 2020. Program ini berhasil mengajak ratusan ribu mahasiswa serta dosen bisa bergerak luas dan adaptif.
Sehingga dengan bebasnya tugas akhir bagi S1 dan kelonggaran jurnal bagi S2 maupun S3 bisa sejalan dengan program yang ada.
"Serta bisa mendorong perguruan tinggi bebas menjalankan Kampus Merdeka dan mengembangkan berbagai inovasi sesuai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi," pungkasnya.
Aturan Baru soal Standar Kompentensi Lulusan
- Kompetensi tidak lagi dijabarkan secara rinci.
- Perguruan tinggi dapat merumuskan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terintegrasi.
- Tugas akhir dapat berbentuk prototipe, proyek, atau bentuk lainnya, tidak hanya skripsi/tesis/disertasi.
- Jika program studi sarjana/sarjana terapan sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk lain yang sejenis, maka tugas akhir dapat dihapus/tidak lagi bersifat wajib.
- Mahasiswa program magister/magister terapan/doktor/doktor terapan wajib diberikan tugas akhir namun tidak wajib diterbitkan di jurnal.
Aturan Lama soal Standar Kompetensi Lulusan
- Rumusan kompetensi sikap, pengetahuan umum, dan keterampilan umum dijabarkan terpisah dan secara rinci.
- Mahasiswa sarjana/sarjana terapan wajib membuat skripsi.
- Mahasiswa magister/magister terapan wajib menerbitkan makalah di jurnal ilmiah terakreditasi.
- Mahasiswa doktor/doktor terapan wajib menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi.
Selain itu, Nadiem juga menyebut ada tiga dampak positif terkait aturan baru ini yaitu:
1. Program studi (prodi) dapat menentukan bentuk tugas akhir.
2. Menghilangkan kewajiban tugas akhir pada banyak program studi sarjana/sarjana terapan.
3. Mendorong perguruan tinggi menjalankan Kampus Merdeka dan berbagai inovasi pelaksanaan Tridharma.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com/TribunSolo.com