Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan maraton penggeledahan di sejumlah lokasi di wilayah Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) selama dua hari.
Penggeledahan dimaksud berkaitan dengan pengusutan perkara dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa disertai penerimaan gratifikasi di lingkungan Pemkot Bima, NTB.
Pada Selasa (29/8/2023), penyidik KPK menggeledah ruangan kerja Wali Kota Bima; ruangan kerja Setda; dan ruangan kerja unit layanan pengadaan PBJ.
Kemudian pada Rabu (30/8/2023), tim KPK melakukan penggeledahan di rumah Wali Kota Bima H. Muhammad Lutfi di Kelurahan Rabadompu, Kecamatan Rasanae Timur, Kota Bima, NTB; Kantor Dinas PUPR Pemkot Bima; Kantor BPBD Pemkot Bima; dan rumah dari pihak terkait lainnya.
Dari penggeledahan selama dua hari itu, KPK mengamankan barang bukti berupa dokumen pengadaan, lembaran catatan keuangan, dan alat elektronik.
"Selama proses penggeledahan dimaksud ditemukan dan diamankan bukti antara lain berupa berbagai dokumen pengadaan, lembaran catatan keuangan dan alat elektronik," kata Juru Bicara KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (31/8/2023).
Ali mengatakan barang bukti yang diamankan selanjutnya disita sebagai pemenuhan berkas penyidikan.
"Berikutnya segera dilakukan analisis dan penyitaan untuk menjadi kelengkapan berkas perkara penyidikan," katanya.
Untuk diketahui, KPK meningkatkan penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi di Kota Bima ke tahap penyidikan.
Seiring dengan peningkatan itu, KPK telah menjerat sejumlah tersangka.
Berdasarkan informasi Tribunnews.com dari aparat penegak hukum, salah satu pihak yang dimintai pertanggungjawaban hukum yakni Wali Kota Bima H. Muhammad Lutfi.
Lutfi disebut terlibat perkara dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa serta penerimaan gratifikasi.
"Status Wali Kota Bima sudah tersangka. Pasal 12 huruf i dan 12B," kata sumber Tribunnews.com, Selasa (29/8/2023).
Pasal 12 huruf i UU Tipikor berbunyi: "Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya".
Sementara, Pasal 12B UU Tipikor menyebutkan: "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya".