Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang lanjutan gugatan class action kasus gagal ginjal akut pada anak pada hari ini, Selasa (12/9/2023).
Sidang beragendakan bukti surat para penggugat, para korban menyerahkan sejumlah alat bukti kepada majelis hakim.
Mulai dari kartu keluarga, kartu tanda penduduk, sertifikat medis penyebab kematian, sertifikat keterangan kematian dari rumah sakit, rekam medis selama perawatan, akta kelahiran, akta kematian, hingga resep dokter dari faskes tingkat 1 yang memberikan obat sirop beracun.
Usai sidang, kuasa hukum para penggugat, Siti Habiba, mengatakan bahwa keluarga anak-anak korban obat sirop beracun penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal putus asa mendengar wacana pemberian santunan oleh pemerintah yang tak kunjung mereka dapatkan.
Rencana santunan tersebut selalu terhambat birokrasi anggaran, padahal tragedi yang menewaskan ratusan anak ini sudah menggantung selama satu tahun.
Siti menerangkan, para korban jengah terlalu sering mendengar kabar akan diberikan santunan yang tak kunjung datang.
Terutama, bagi anak selamat yang mengalami efek jangka panjang seperti kesulitan bicara, makan dari butuh bantuan selang nasogastrik, hingga mengalami kelumpuhan.
"Kasus sudah berjalan satu tahun lebih dari Juli tahun lalu sampai hari ini kita berada di September, sangat lucu kalau hari ini pemerintah masih terus-terusan menggulirkan wacana itu," kata Siti di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (12/9/2023).
Tak hanya itu, Siti turut menyoroti istilah yang dipakai pemerintah sejak awal adalah santunan, bukan kompensasi atas dugaan kelalaian pemerintah mengawasi peredaran obat di masyarakat.
Kata santunan, menurut dia, bisa berarti bantuan semata, bukan tanggung jawab atas tragedi yang menewaskan 204 korban meninggal dan 122 orang korban masih mengalami efek jangka panjang.
Siti juga khawatir, penggunaan kata santunan dapat berdampak pada gugatan bersama atau class action yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebab, dalam gugatan ini, keluarga korban yang meninggal menuntut kompensasi Rp3 miliar per orang, sedangkan keluarga dari korban yang masih dalam pengobatan menuntut kompensasi Rp2 miliar per orang.
"Jadi ada atau tidak adanya santunan yang diberikan pemerintah, itu seharusnya tidak akan menegasikan kasus perdatanya yang kami tempuh. Pemberian santunan dari pemerintah harus dilihat sebagai bentuk empati bukan tanggung jawab," katanya.