Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan melakukan simulasi kegawatdaruratan bencana nuklir (26/9/2023).
Simulasi kegawatdaruratan ini merupakan kerjasama antara Kemenkes dan BRIN dalam mengantisipasi bencana nuklir.
Simulasi yang berlangsung di Kawasan Sains dan Edukasi (KSE) Achmad Baiquni Yogyakarta dan RSUP. dr Sardjito.
Diikuti oleh berbagai pemangku kepentingan lintas sektor seperti BAPETEN, BRIN, PSC 119, Dinas Kesehatan dan Perhimpunan Organisasi Profesi.
Dalam kegiatan tersebut, tenaga kesehatan yang mengikuti simulasi kegawatdaruratan bencana nuklir bertugas mengevakuasi pegawai KSE Achmad Baiquni yang terpapar radiasi nuklir dengan standar protokol dan prosedur evakuasi.
Kegiatan ini ditujukan agar tenaga kesehatan memahami prosedur dan petunjuk teknis saat melakukan tindakan penanganan medis pada pasien radiasi nuklir.
Serta, pengendalian bahaya radiasi nuklir, dan dekontaminasi radiasi nuklir
Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Instruktur Simulasi Kegawatdaruratan Bencana Nuklir RSUP dr. Sardjito, Andreas Dewanto.
“Kemudian petugas kesehatan juga harus mengetahui standar proteksi diri atau alat pelindung diri yang harus digunakan dalam menghadapi pasien yang diduga terkontaminasi radiasi,” ungkap Andreas pada keterangan resmi, Jumat (29/9/2023).
Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam Simulasi Kegawatdaruratan Bencana Nuklir ini adalah APD tenaga kesehatan, alat monitoring radiasi, dan setting ruangan IGD yang dapat digunakan untuk proses dekontaminasi.
Andreas Dewanto menyebutkan setidaknya ada tiga zona yang perlu diterapkan saat tenaga kesehatan melakukan penanganan pasien dengan paparan nuklir baik di lokasi bencana maupun di IGD.
Tiga zona tersebut terdiri dari hot zone, warm zone, dan cold zone.
Hot zone atau zona panas adalah area yang paling tinggi perannya yaitu area untuk pasien dengan radiasi yang baru masuk IGD atau baru tiba di RS.