Melalui siaran RRI, PKI mengumumkan tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota "Dewan Jenderal" yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah.
Serta diumumkan pula terbentuknya suatu "Dewan Revolusi" yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Tidak lama pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan.
Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan tersebut kemudian dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Lalu pada 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara.
Lima bulan setelahnya, tepatnya pada 11 Maret 1966, Soekarno memberi Soeharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret.
Baca juga: Pedoman Susunan Upacara Hari Kesaktian Pancasila 2023, bagi Pemerintah Pusat, Daerah, dan Sekolah
Dalam surat tersebut berisi perintah kepada Soeharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya.
Kewenangan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Soeharto untuk melarang PKI berada dan juga tumbuh di wilayah Indonesia.
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Soekarno dipertahankan sebagai Presiden Tituler Diktatur Militer sampai Maret 1967.
Setelah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G30S) dan hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Semasa Orde Baru, ada semacam ritual pengibaran bendera untuk memperingati peristiwa G30S dan Hari Kesaktian Pancasila.
Pada 30 September, bendera dinaikkan setengah tiang. Esok harinya, atau 1 Oktober, bendera dinaikkan secara penuh.
Prosesi pengibaran bendera selama dua hari itu bisa dimaknai sebagai berikut: Bendera setengah tiang yang dikibarkan pada 30 September dimaksudkan sebagai tanda duka nasional setelah terbunuhnya beberapa perwira militer AD.